Hidden Figures (2016)

127 min|Biography, Drama, History|06 Jan 2017
7.8Rating: 7.8 / 10 from 265,318 usersMetascore: 74
Three female African-American mathematicians play a pivotal role in astronaut John Glenn's launch into orbit. Meanwhile, they also have to deal with racial and gender discrimination at work.

Hidden Figures garapan Theodore Melfi menarik perhatian publik karena sukses komersil serta tentunya meraih nominasi film terbaik dalam ajang Academy Awards baru lalu. Melfi sebelumnya kita kenal dengan film debutnya sebuah komedi drama unik, St. Vincent (2014) yang dipuji banyak kritikus. Hidden Figures diadaptasi dari buku biografi yang mengisahkan tentang para wanita kulit hitam jenius yang bekerja di NASA pada era 1960-an dimana isu rasis kaum kulit hitam masih menjadi masalah besar. Film dibintangi oleh Taraji P. Henson, Olivia Spencer, serta Janelle Monáe, serta beberapa bintang senior, seperti Kevin Costner dan Kristen Dunst.

Tiga wanita berkulit hitam jenius, Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson bekerja di NASA pada masa dimana persaingan dengan Uni Soviet tengah panas-panasnya. Situasi ini memaksa sang kepala divisi space task group, Al Harrison untuk merekrut ahli matematika tambahan. Katherine akhirnya direkrut dan ia adalah wanita berkulit hitam pertama yang dipekerjakan disana. Situasi tersebut memaksa Katherine beradaptasi dengan situasi kerja yang sulit dimana segala hal kecil masih dibedakan antara pekerja kuit putih dan kulit hitam. Dorothy dan Mary pun kurang lebih menghadapi situasi dan masalah yang sama.

Isu rasis dan kesetaraan warga kulit hitam di AS memang bukan hal baru lagi dalam film namun rupanya masih memiliki kekuatan besar untuk menarik penonton maupun pengamat bahkan ajang Academy Awards. Hidden Figures secara unik mampu menampilkan isu masalah ini di sebuah institusi besar, NASA yang sebelumnya belum pernah diangkat. Film ini menggambarkan dengan baik bagaimana pembedaan ras juga terjadi di lembaga ini baik dari masalah pekerjaan, jenjang karir, hingga penggunaan ruangan bangunan tersendiri bahkan kamar mandi. Berapa kali kita melihat bagaimana Katherine harus berlari beratus-ratus meter hanya untuk buang air kecil ke bangunan gedung yang terdapat fasilitas toilet untuk ras berwarna. Hal yang menarik saya lihat disini adalah bagaimana “Uni Soviet” (baca: komunis) akhirnya membuka kesempatan bagi ras kulit hitam untuk berperan lebih di lembaga ini kala itu.

Baca Juga  The Equalizer 2

Bicara soal filmnya, di luar kekuatan temanya didukung oleh performa dari sederetan pemainnya. Tiga aktor utamanya bermain sangat baik, dan aktor Kevin Costner masih memiliki pesona dan karisma sebagai bos space task group. Kristen Dunst tampil tampak lebih tua dari umurnya dan tidak banyak berperan penting selain menonjolkan “aura” nama besarnya. Di luar tema dan permainan menawan para kastingnya memang tak banyak hal menonjol seputar pencapaian teknisnya. Sisi manusiawi filmnya juga tampak dari keseharian tiga wanita tersebut ketika berada luar kantor mereka.

Di luar isu rasis yang sudah umum, Hidden Figures merupakan sebuah drama biografi yang solid, ringan, serta menghibur dengan penampilan sederetan pemain yang menawan. Film ini bisa menginspirasi warga atau ras minoritas seperti yang dilakukan tiga wanita tokoh utama yang bekerja keras dan gigih untuk bisa meraih impian dan kebebasan mereka. Boleh jadi isu rasisme memang sudah terlalu lelah untuk dibincangkan namun rasanya hingga kini pun masih menjadi isu besar secara global yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas bahkan di industri film sendiri.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaPuisi Paterson di Kota Paterson
Artikel BerikutnyaBeauty and the Beast
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.