hidup ini terlalu banyak kamu

Terselip di antara film drama dan romansa yang rilis di minggu-minggu ini, Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu muncul sebagai underdog dengan gaya pengemasannya. Diadaptasi dari novel karya Pidi Baiq yang juga menulis novel Dilan dan Koboy Kampus, dengan judul yang sama, film ini terwujud di bawah arahan Kuntz Agus yang sudah familiar menyutradarai berbagai genre termasuk drama dan romansa. Film ini dibintangi oleh Ajil Ditto, Adinia Wirasti, dan Hanggini, yang menjadi salah satu aspek kuat yang membangun keistimewaan film ini.

Seorang pelukis muda idealis, Sadali (Ditto), berencana untuk pergi kuliah ke Yogyakarta dan mendalami mimpinya sebagai praktisi lukis, meninggalkan kampung halamannya di Bukit Tinggi. Sebelum berangkat, orang tuanya memperkenalkannya dengan seorang gadis bernama Arnaza (Hanggini) yang telah setuju menikah dengannya. Berjanji untuk kembali pada Arnaza, ia pergi merantau sendirian di Yogyakarta dan bertemu dengan pemilik rumah tinggalnya, Mera (Wirasti), yang beberapa tahun lebih tua darinya. Saat ia menyadari bahwa Mera adalah wanita impiannya yang dapat menjadi inspirasi dalam karya-karyanya, Sadali mendapati bahwa Mera telah memiliki seorang putri dan sedang dalam proses perceraian. Kini Sadali dihadapkan pada pilihan, antara ‘cinta’ dan ‘impian’ atau janji. Mera, atau Arnaza?

Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu memamerkan pengemasan estetik yang memanjakan mata dan penyusunan komposisi adegan yang rapi. Style penyutradaraannya terlihat terasah, tidak gagap dan hampir segalanya terlihat high-effort. Lebih detailnya adalah betapa cantiknya cara filmmaker membingkai suatu adegan, dari bagian kosong hingga pusat perhatian layar, dengan pencahayaan dan warna yang sempurna. Salah satu contohnya adalah saat Sadali dan Mera duduk berdua di depan mobil, waktu subuh, diterangi cahaya lampu depan mobil. Sungguh memanjakan mata.

Hal kedua yang patut menerima applause di film ini adalah Adinia Wirasti sebagai Mera. Bayangkan betapa sulitnya memerankan tokoh seorang ibu muda yang akan bercerai sebagai love interest tokoh utama, namun Wirasti membawakannya dengan begitu anggun dan natural. Ia berhasil membangun kesan seorang wanita yang memikat tanpa mengandalkan klise femme fatale atau stigma ‘janda muda’ di cerita murahan. Keputusan ini sangatlah romantis dan bermartabat, dengan pilihan aktris yang sempurna. Hal ini penting, karena dengan begitu, penonton akan mengerti mengapa Sadali menganggap Mera adalah wanita impiannya.

Baca Juga  Rasuk 2

Dari premisnya, sepertinya sudah jelas bahwa ini adalah film bertemakan cinta segitiga. Namun di film part satu ini, penulis naskah mungkin sudah memutuskan untuk berfokus ke cerita cinta antara Sadali dan Mera, dengan screetime mereka yang lebih banyak dan lebih substansial. Namun bukan berarti bahwa keberadaan Arnaza terlupakan begitu saja, dengan bayang-bayangnya masih menghantui Sadali di latar belakang. Tidak lupa memuji akting Hanggini yang singkat, namun menunjukkan portrayal yang sempurna sebagai gadis kasmaran polos dengan impiannya sendiri. Mungkin ceritanya akan dieksplor lebih luas di part duanya.

Tapi apakah dengan pujian-pujian untuk Wirasti dan Hanggini selaku dua love interest di film ini, sang pemeran Sadali akan dapat mengimbanginya? Sayangnya kurang. Memerankan karakter pelukis-pujangga idealis seperti Sadali dengan tendensi playboynya mungkin masih terlalu sulit untuk Ajil Ditto. Kata-kata witty dan bercandaan cheeky yang ia celetukkan, yang digambarkan membuat Mera goyah, terdengar kurang natural diutarakan. Mungkin karena lawan mainnya, Wirasti, yang sangat natural dalam membawakan Mera, ketimpangan ini semakin terlihat jelas.

Untuk para penggemar seni, pelukis dan pujangga, film ini mungkin akan memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Dari monolog ke dialog, ada banyak sekali frasa quotable yang unik. Memerankan Sadali memang butuh karisma yang kuat, dan kemampuan akting yang tinggi. Setidaknya Ditto berhasil mengeluarkan 60% potensi karisma Sadali, dan di film ini, itu sudah cukup.

Sampai disini, bisa ditekankan lagi bahwa pengemasan estetik dan penyutradaraan film ini sangatlah rapi, efektif dan stylistik, namun agaknya terbuang sia-sia oleh ceritanya yang mengikuti tren pasar. Jangan salah paham, Ini bukanlah suatu hal yang buruk. Memang tidak semua orang akan setuju dengan keputusan yang diambil para tokoh utama dan betapa ‘menyebalkannya’ alur cerita, namun endingnya berhasil memberikan penyelesaian dan potensi untuk cerita kelanjutannya. Itulah genre drama, yang tidak akan menarik tanpa adanya dilema dan kontroversi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaPantaskah Aku Berhijab
Artikel BerikutnyaWe Live in Time

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.