House of Darkness adalah film komedi thriller arahan yang juga ditulis Neil LaBute. Film ini dibintangi beberapa nama yang tak asing, yakni Kate Bosworth, Justin Long, Gia Crovatin, dan Lucy Walters. Dengan set terbatas dan pemain minim, The House of Darkness mencoba menawarkan sesuatu yang unik, sejauh apa?

Once upon a time…

Seorang pria (Long) mengantar seorang perempuan muda (Bosworth) berparas memikat pulang ke rumahnya ke daerah pinggiran di tengah hutan. Tempat tinggal tersebut ternyata berupa kastil tua yang misterius dan suram. Sang pria pun diajak masuk, mereka pun mengobrol sembari saling menggoda. Sebelum bertindak lebih jauh, sang pria pun menyadari bahwa mereka ternyata tidak sendirian di bangunan tua besar tersebut.

Apa yang diharapkan melalui plot simpel seperti ini? Dengan pola dialog ringan ala “Before Sunrise”, alur plotnya bergerak lambat dengan segala pertanyaan terusik di benak kita. Kejutan besar (twist) adalah satu hal yang pasti kita harapkan. Arah kisahnya sudah terbaca di depan mata. Ibarat, “don’t play with your food”, kita semua tahu, ada yang tak beres dengan sosok perempuan ini dan tempat tersebut. Lalu, “BAM”! Kejutan yang sudah kita antisipasi pun terjadi. Pertanyaannya, apakah itu sebuah kejutan?

House of Darkness mencoba opsi minimalis yang segar dari subgenre yang membludak, walau ending-nya kurang menggigit. Di luar set yang menawan dan sinematografi yang terukur, kasting adalah satu hal yang menjadi daya tarik utama film ini. Dialog pancingan dan godaan ringan, tak akan terlihat natural tanpa penampilan memikat dua kastingnya, Long dan Bosworth. Jika hanya mereka berdua saja yang bermain, bisa jadi arah kisahnya berbeda. Jika ditambahkan secuil saja sebuah “nilai”, misal sang gadis mencari sesuatu yang lebih hanya dari sekadar permainan, bisa jadi ceritanya lebih punya kedalaman. Kejutan pun tak lebih dari sebuah kejutan biasa tanpa makna.

Baca Juga  The Great Wall

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Invitation
Artikel BerikutnyaSayap-Sayap Patah: Patah Satu Paham, Tumbuh Seribu Orang
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Setiap kali saya melihat aktor ini, saya merasa seperti di rumah sendiri. Dia hebat dalam komedi, tapi getarannya benar-benar fenomenal ketika saya melihatnya di film horor. Diremehkan pasti; akan senang melihat lebih banyak darinya.
    Jeritan itu di akhir masih sama seperti di Jeepers Creepers. Saya suka JL di thriller. Film terbaik dengan cerita yang bagus.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.