Lama tak melihat sineas kawakan Robert Rodriquez membuat film serius sejak Alita: Battle Angel (2019). Kini, ia kembali mengarahkan film berbujet besar lainnya, Hypnotic yang juga diproduseri, ditulis, diedit, dikomposeri, hingga penata kamera (nyaris semua aspek teknis). Film berbujet USD 65 juta ini dibintangi sederetan nama tenar, seperti Ben Affleck, Alice Braga, J. D. Pardo, Hala Finley, Dayo Okeniyi, Jeff Fahey, Jackie Earle Haley hingga William Fichtner. Lalu, apakah ada sesuatu dari karya sineas kali ini? Not really.
Danny Rourke (Affleck) adalah seorang detektif yang kehilangan putrinya, Minnie (Finley) yang diculik sewaktu keduanya bermain di taman. Sang penculik tertangkap, namun ia tidak memberi tahu di mana sang putri berada, entah masih hidup atau sudah tidak bernyawa. Di tengah kekalutan pikirannya, ia dihadapkan pada sebuah kasus perampokan bank misterius yang menggunakan modus hipnotis. Anehnya, ia menemukan foto putrinya di salah satu kotak penyimpanan bank. Danny lalu mengikuti petunjuk dan bertemu dengan seorang peramal bernama Diana Cruz (Braga). Danny menemukan fakta bahwa putrinya dibawa oleh seorang penghipnotis kuat bernama Dellrayne (Fichtner). Dellrayne pun menggunakan kuasa hipnotisnya untuk menjebak Danny dan Diana hingga menjadi buronan polisi.
Bingung membaca arah plotnya? Faktanya memang kisahnya rumit dan membingungkan. Terasa sekali ada suatu informasi besar yang ditahan plotnya sejak awal. Pengembangan kisahnya selalu mengusik rasa penasaran, dan tiap kali berjalan, kita hanya akan dijejali pertanyaan-pertanyaan baru yang membuat situasi makin tak jelas. Tidak hingga, separuh durasi akhirnya segalanya terkuak. Apakah setimpal dengan pengembangan plotnya? No. Nothing.
Jujur saja, sulit untuk menggambarkan plotnya tanpa spoiler. Saya tidak akan membocorkan apa pun. Namun dari gelagat trailer dan titelnya, kita sudah sadar betul bahwa kisahnya bermain-main dengan imajinasi atau manipulasi realitas. Bagi yang pernah menonton The Matrix atau Inception, Hypnotic memiliki konsep yang mirip. Apa yang kita lihat, tidak seperti yang kita pikir. Bagi penikmat film sejati, gelagat permainan plot ini sudah tak sulit diantisipasi hingga belasan kilometer ke depan. Minimnya latar cerita dan kompleksitas plot justru membuat kisahnya sulit bagi kita untuk peduli pada tokoh-tokohnya. Pada akhirnya, sama sekali tak ada sisi dramatik kuat yang menggugah. Siapa peduli jika semua itu nyata atau tidak?
Hypnotic ibarat The Matrix versi Robert Rodriquez, namun dengan eksposisi minim serta kerumitan plotnya yang menjauhkan penonton dari kisah dan karakternya. Dengan gayanya, sang sineas rasanya bisa bekerja lebih maksimal dalam kisah-kisah kriminal sederhana tanpa intrik. Rodriguez, bisa jadi terlalu percaya diri dengan naskah yang dibuatnya hingga ia melupakan sesuatu yang selama ini menjadi titik lemahnya. Drama. Bisa dihitung jari, film-film sang sineas yang memiliki kisah yang bagus, dan semua kebanyakan bukan ditulis olehnya. Seatraktif dan seliar apa pun aksi tanpa sisi drama yang kuat adalah bak roti tanpa isi. Setidaknya, penonton mampu merasakan ancaman yang dirasakan tokoh-tokohnya dan mengapa mereka harus keluar dari situasi tersebut. Ini adalah dasar penulisan naskah yang paling elementer. Sang sineas rasanya harus mencoba sesuatu yang berbeda jika tidak hanya ingin dikenang sebagai sutradara independen yang membuat film murah dan berkualitas, El Mariachi (1992).