Sejak Gravity (2013), belum lagi ada film thriller senada yang berkualitas. I.S.S. adalah film thriller sci-fi arahan sineas Gabriela Cowperthwaite. Film berbujet USD 13,8 juta ini hanya dibintangi enam pemain saja, yakni Ariana DeBose, Chris Messina, John Gallagher Jr., Masha Mashkova, Costa Ronin, serta Pilou Asbæk. Akankah film ini bakal menyajikan satu eksplorasi baru bagi genrenya?
Kira Foster (DeBose) bergabung bersama lima kru lainnya di International Space Station (I.S.S.) yang mengorbit dekat bumi. Mereka adalah dua astronot AS, Gordon (Messina) dan Christian (Gallagher), serta tiga kosmonot Rusia, Veronika (Mashkova), Nicholai (Ronis), dan Alexey (Asbæk). Kira yang masih beradaptasi dengan ISS, suatu ketika melihat bumi di bawahnya yang penuh dengan ledakan nuklir. AS dan Rusia tengah dilanda perang besar. Masing-masing tim pun mendapat mandat untuk mengambil-alih I.S.S.. Suasana mendadak tegang dan saling curiga, siapa yang kini akan bergerak terlebih dulu?
Satu hal yang menarik adalah I.S.S. adalah stasiun angkasa internasional sungguhan yang dimotori AS, Rusia, Kanada, Jepang, dan Eropa, yang diluncurkan sejak tahun 1998. Tampak sekali, film ini mencoba untuk membangun set yang otentik, baik eksterior maupun interiornya. Sisi realisme ini yang menjadi pembeda, tidak seperti film-film fiksi ilmiah kebanyakan. Mereka pun layaknya di angkasa lepas yang minim gravitasi, bergerak melayang dari satu ruang ke ruang lainnya. Belum pernah kita melihat film sejenis yang menggambarkan betapa sangat tidak nyamannya berada di dalam sana.
Konfliknya juga tidak seperti kebanyakan plot yang berhubungan dengan “alien” atau malfungsi sistem, namun adalah para awaknya sendiri. Walau ketegangan tidak seintens yang dibayangkan, namun cukup untuk menggambarkan situasi tak nyaman di antara mereka. Tak banyak kelokan plot berarti, sisi misteri pun nyaris nol. Bukan aksi dan ketegangan yang menjadi poin plus, namun adalah pesan yang merekfleksikan perang dingin antara US dan Rusia yang hingga kini masih terjadi. Ending-nya secara brilian menggambarkan situasi ini dengan cara sangat berkelas. Sentuhan sisi feminisme dari sang sineas yang seorang perempuan bisa jadi punya andil besar di sini.
Melalui set realistik, I.S.S. menjanjikan premis menarik di ruang terbatas dengan intensitas ketegangan yang jauh dari ekspektasi tipikal genrenya. I.S.S. memang bukan Gravity, Alien (1979), atau Apollo 13 (1995) dengan segala aksi dan kemasan estetiknya. ISS juga bukan karya masterpiece, macam The Right Stuff (1983) yang menyajikan hebohnya persaingan AS dan Soviet untuk menguasai angkasa. Namun, I.S.S. dengan level bujetnya mampu memberikan sesuatu yang unik melalui konsep dan idenya. US vs Rusia selalu menarik menjadi isu yang disentil sekalipun sudah usang. Di antara rivalitas antara pemerintah US dan Rusia, sisi manusiawi menjadi pembeda. Siapa yang tak ingin hidup harmonis dan penuh kedamaian di bumi yang tengah sakit ini?