Indiana Jones and Dial of Destiny merupakan seri sosok ikonik yang dinanti para fansnya. Benarkah? Faktanya, bioskop sepi penonton, padahal pemesanan tiket sudah jauh hari sebelumnya. Apakah generasi kini sudah tak lagi mengenal sosok Indy? Seri yang populer pada era 1980-an hingga 1990-an ini bisa jadi memang sudah usang bagi generasi milenial dan gen-Z. Amat disayangkan, padahal seri ini tercatat film aksi petualangan terbaik pada mediumnya dan bahkan Raiders of the Lost Ark (1981) dianggap sebagai salah satu film aksi petualangan terbaik sepanjang masa.
Film sekuel terbaru ini uniknya pula tidak lagi digarap oleh sineas regulernya, Steven Spielberg, melainkan James Mangold yang kita kenal melalui Walk the Line, The Wolverine, hingga Logan. Aktor regulernya tentu tak tergantikan lagi, yakni Harrison Ford yang kini didampingi oleh Phoebe Waller Bridge, Mads Mikkelsen, Antonio Banderas, Boyd Holbrook, serta Toby Jones. Film berdurasi 154 menit ini juga memiliki bujet raksasa, USD 295 juta, yang tentu bakal membuat produser ketar-ketir jika film ini tidak laku di pasaran. Di luar sukses komersial atau tidak, dengan sang aktor yang sudah uzur, apakah film ini bisa bersaing kualitas dengan tiga seri awal Indiana Jones?
Sobat Indy di masa lalu, Basil Shaw (Jones) mendedikasikan hidupnya untuk memecahkan rahasia Jam Archimedes yang konon bisa membuka portal waktu (baca: time travel). Berlatar pada tahun 1969, kini Indy bersama putri Shaw, Helena (Bridge) berusaha untuk mencari artefak tersebut. Sekelompok eks Nazi yang dipimpin Jurgen Voller (Mikkelsen) bertujuan sama dan ingin menggunakannya untuk mengubah masa lalu agar Adolf Hitler bisa meraih kejayaan. Petualangan aksi nan seru pun dimulai.
Ringkasan plotnya memang tidak sesederhana seperti di atas. Indy dan Helena harus berkelana ke banyak lokasi sebelum bisa mencapai lokasi artefak tersebut. Banyak detil plot yang membuat ceritanya menjadi semakin mengasyikkan untuk ditonton. Aksi-aksinya memang yang membuat seri ini berbeda dengan film-film aksi lainnya. Dengan setting masa lalu yang solid, aksinya berpindah-pindah dari atap gedung, jalanan, hingga lorong kereta bawah tanah di Kota New York; aksi kejar mengejar tuk-tuk di jalanan kota Tangier, di dasar laut, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, hingga segmen klimaksnya yang mengejutkan. Film ini sangat komplit dari sisi aksi dan mampu memberi sensasi nostalgia yang luar biasa dari tiga seri orisinalnya, terlebih musik tema Indy yang melegenda.
Di luar aksinya, formula plot Indiana Jones kelima ini terasa menggunakan template seri pertama, ketiga, dan keempat. Nyaris mirip hingga membuat kisahnya mudah diantisipasi, terlebih fans loyalnya. Naskahnya juga terlihat sekali berusaha menambal kontinuitas seri sebelumnya dengan cara instan melalui selintas dialog untuk memberikan penjelasan bagi tokoh-tokoh penting di sekitar Indy. Untungnya, sosok Helena (Phoebe Waller Bridge) yang cekatan dan tangguh, mampu menggantikan peran sidekick Indy dengan baik. Sementara Mikkelsen tidak pernah miss dalam memerankan sosok antagonis, seperti yang ia lakukan pula pada franchise besar lainnya, macam Fantastic Beast, Doctor Strange, hingga James Bond.
Indiana Jones and the Dial of Destiny menggunakan tipikal formula serinya dengan selipan petualangan dan aksi seru, bukan yang terbaik, namun jauh lebih baik dari satu seri sebelumnya. Seri terbaru Indy ini tidak lepas pula dari permainan waktu yang kini tengah tren dalam medium film. Walau kisahnya menggunakan konsep time travel dengan lebih bijak, namun tetap saja ranah aksi petualangan telah terkontaminasi dengan fiksi ilmiah. Ranah sci-fi pula yang melemahkan seri sebelumnya, The Kingdom of the Cristal Skull. Kisahnya tidak lagi membumi seperti tiga seri orisinalnya. Bagi fans Indy jelas tidak boleh melewatkan film ini. Jika saja seri ini bisa menggunakan Jam Archimedes untuk diproduksi dua dekade lalu, mungkin hasilnya akan berbeda. Selamat menonton!