Infernal Affairs (2002)
101 min|Crime, Drama, Mystery|12 Dec 2002
8.0Rating: 8.0 / 10 from 133,669 usersMetascore: 75
Chen Wing Yan, a policeman, successfully infiltrates a gang while Lau Kin Ming, a tried member, becomes a mole in the police force. However, things change when both of them must seek each other out.

Infernal Affairs (Mou Gaan Dou/2002) arahan Andrew Law dan Alan Mak merupakan “triad film” yang berkombinasi dengan unsur thriller. Judul aslinya mengacu pada level neraka terendah dalam ajaran Buddhisme yakni, “siksa tiada akhir”. Film ini meraih sukses komersil maupun kritik baik domestik maupun internasional. Dalam ajang Hong Kong Film Awards, film ini sukses meraih 7 dari 16 penghargaan yang dinominasikan, termasuk film dan sutradara terbaik. Tak heran jika sineas sekaliber Martin Scorcese akhirnya memproduksi versi Amerika film yang dianggap fenomenal ini.

Plotnya sendiri cukup kompleks, alkisah Chan Wing Yan (Tonny Leung) adalah polisi yang menyamar sebagai anggota triad yang dipimpin Hon Sam (Eric Tsang). Sementara Lau Kin Ming (Andy Lau) adalah anggota triad (anak buah Sam) yang menyamar sebagai anggota polisi di bawah pimpinan Wong Chi Sing (Anthony Wong). Satu-satunya orang yang mengetahui identitas Yan dan Ming hanyalah para pimpinan mereka (Sam dan Wong). Tugas utama mereka adalah memberikan informasi kepada pihaknya masing-masing untuk memuluskan semua operasi mereka. Masalah bermula ketika pihak triad dan polisi akhirnya sama-sama mengetahui jika terdapat seorang penyusup di antara mereka. Ming mendapat keuntungan karena dipercaya Wong untuk mencari mata-mata di pihak polisi. Masalah menjadi semakin rumit ketika pihak triad membunuh Wong yang membuat posisi Yan semakin terjepit.

Infernal Affairs merupakan terobosan baru plot “kucing-kucingan” antara pihak polisi dan triad. Dalam film-film kriminal sejenis umumnya hanya mengisahkan polisi yang menyamar sebagai anggota kelompok kriminal. Namun dalam film ini penyusup terdapat pada kedua belah pihak sekaligus dan dalam satu kelompok yang sama. Plotnya menjanjikan unsur thriller yang begitu menegangkan sepanjang filmnya karena hanya kitalah (penonton) yang mengetahui secara persis identitas mereka berdua. Hal ini bisa kita rasakan jelas ketika pihak polisi mampu menggagalkan operasi triad di awal cerita. Namun terdapat beberapa hal yang dirasa mengganjal terutama di akhir kisahnya. Tak jelas mengapa Yan tidak langsung saja menyerahkan bukti rekaman pembicaraan Ming dan Sam ke pihak (polisi) lain? Toh sepertinya rekan-rekan Ming juga telah tahu jika Yan adalah anak buah Wong. Yang lebih aneh lagi di penghujung kisah ternyata ada seorang penyusup lain selain Ming di pihak polisi. Jika demikian bagaimana mungkin pihak triad bisa gagal dalam operasi terakhir mereka? Mengapa tidak ada antisipasi sebelumnya? Lantas apa fungsi penyusup kedua? Semuanya masih serba tak jelas.

Baca Juga  The Godfather, Cermin Kejahatan Abadi

Tidak seperti film triad Hong Kong umumnya film ini justru sangat minim adegan aksi. Adegan-adegannya justru lebih ditekankan pada unsur suspense-nya dengan tanpa henti mengaduk-aduk rasa penasaran kita tanpa bisa mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Didukung setting serta tata cahaya low-key lighting, unsur suspense-nya bekerja lebih maksimal. Satu momen yang begitu menegangkan tampak ketika Yan menguntit Ming menyusuri lorong-lorong bangunan setelah ia bertemu Sam di bioskop. Penggunaan kode morse sebagai media komunikasi antara Yan dan Wong juga merupakan ide yang sangat cerdas. Namun seluruh pencapaian teknis di atas tidaklah berarti apapun tanpa dukungan dari para aktornya. Empat pemain utamanya bermain sangat baik, terutama Tonny Leung dan Anthony Wong patut mendapatkan nilai lebih.

 

Artikel SebelumnyaNovel Vs Film Ayat-Ayat Cinta
Artikel BerikutnyaAmerican Gangster, Film Gangster dengan Sentuhan Lembut 
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.