Insidious: The Red Door adalah film kelima dari seri horor Insidious dan merupakan sekuel dari Insidious: Chapter 2 (2013). Jason Blum, Oren Peli, James Wan, dan penulis naskahnya, Leigh Whannel bertindak menjadi produser. Uniknya, seri kelima ini diarahkan oleh Patrick Wilson yang juga bermain sebagai tokoh utamanya. Selain Wilson, film ini juga masih dibintangi para kasting sebelumnya, yakni Rose Byrne, Ty Simpkins, dan Lin Shaye. Akankah di tangan kreatif sang aktor, film ini memiliki sentuhan yang berbeda dan lebih baik dari sebelumnya?

Setelah peristiwa mengerikan yang terjadi pada kisah pertama dan kedua, Josh (Wilson) dan putranya, Dalton (Simpkins), melakukan terapi untuk menghilangkan memori buruk yang terjadi pada mereka. Hanya sang istri, Renai (Byrne) yang tahu segala hal yang terjadi pada mereka di masa silam. Sembilan tahun berselang, Josh menjadi sosok yang pelupa dan sering mengalami mimpi buruk. Sang putra pun memiliki pengalaman sama, bahkan ia mampu menyeberang ke dimensi roh, atau distilahkan “The Further”. Tanpa disadari, entitas jahat mulai mengincar keduanya.

Kisahnya kini hanya terfokus pada ayah dan putranya, Josh dan Dalton. Sosok sang istri yang diperankan Rose Byrne (bermain sangat mengesankan pada dua seri pertamanya) kini dikesampingkan tanpa mendapat peran yang berarti. Alur plot hanya bergantian berpindah dari sosok Dalton dan sang ayah dengan tempo yang relatif lambat. Sosok rekan sekampus Dalton, Chris sedikit memberikan sentuhan komedi, namun ini pun sekadar selingan yang tak punya arti bagi kisahnya. Lantas apa lagi? None. Tak ada apa pun selain hanya sajian jumpscare demi jumpcare.

Rasanya baru ini, film horor begitu didominasi oleh jump scare. Bak film aksi yang didominasi segmen aksi, jump scare menjadi bangunan utama filmnya tanpa sisi drama yang berarti. Boleh dibilang, kisah kali ini terlalu memaksa dan sama sekali tak perlu. Tak ada poin apa pun selain hanya “mengulang” informasi dua film pertamanya. Dari ringkasan plot di atas pun telah terlihat jika filmnya hanya dibangun untuk mencoba “mengingat kembali” apa yang terjadi sembilan tahun yang lalu. Tak ada sesuatu yang subtil untuk dikisahkan.

Baca Juga  Battleship

Jump scare yang menjadi dominasi filmnya juga tidak mampu membangun sisi horornya karena minimnya cerita. Jump scare semata hanya mengagetkan dengan trik kamera/editing/suara dan sosok seramnya. “The Further” yang pada seri-seri sebelumnya bisa membangun nuansa horor demikian mencekam kini terlihat biasa-biasa saja. Tak ada greget seperti sebelumnya. Sang aktor/sineas rupanya beda kelas dengan James Wan yang demikian terampil memainkan jump scare.

Insidious: The Red Door hanya dibangun dari jump scare demi jump scare tanpa mampu mengeksplorasi lebih dalam sisi kisahnya. Untuk serinya, tampak sekali ini hanyalah usaha untuk mencari keuntungan komersial semata tanpa banyak memberikan sesuatu yang baru pada kisah maupun desain produksinya. Melihat gelagatnya dengan berbujet USD 16 juta, pada hasil rilis minggu pertamanya lalu sudah melewati jauh bea produksinya. Seri keenam jelas sudah di depan mata. Semoga kelak film sekuelnya bisa lebih baik dari ini.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel Sebelumnya96 jam
Artikel BerikutnyaThe Out-Laws
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.