Iron Man (2008)
126 min|Action, Adventure, Sci-Fi|02 May 2008
7.9Rating: 7.9 / 10 from 1,176,729 usersMetascore: 79
After being held captive in an Afghan cave, billionaire engineer Tony Stark creates a unique weaponized suit of armor to fight evil.

Menyusul Spiderman, X-Men, Hulk, Daredevil, Electra, serta lainnya, akhirnya Iron Man,tokoh superhero tangguh Marvel yang ditunggu penggemarnya akhirnya dirilis juga. Seperti film superhero umumnya, Iron Man juga meraih sukses komersil luar biasa dengan meraih pendapatan kotor $300 juta pada peredaran seluruh dunia hanya dalam tiga minggu rilisnya saja. Film disutradarai oleh Jon Favreau serta dibintangi aktor-aktris kawakan seperti Robert Downey Jr., Gwyneth Paltrow, Terrence Howard, serta Jeff Bridges.

Seperti film superhero lazimnya, cerita film dibuka dengan menjelaskan latar-belakang kemunculan sang tokoh super. Dikisahkan Tony Stark (Downey) adalah seorang pengusaha multi bilyuner jenius yang bergerak di bidang produksi senjata militer. Digambarkan Stark adalah sosok yang begitu percaya diri, sombong, glamor, serta suka bersenang-senang dengan kaum hawa. Suatu ketika Stark pergi ke Timur Tengah untuk melakukan uji coba senjata misil ampuh ciptaannya. Dalam perjalanan pulang Stark tertangkap dan dibawa oleh pasukan tentara lokal untuk dipaksa merancang-ulang misil ciptaannya. Dengan bantuan rekan tahanannya, Yinsen, Stark justru membuat senjata rahasia berupa kostum besi untuk bisa keluar dari sana. Rencananya sukses namun dibayar mahal dengan kematian Yinsen. Sepulangnya dari Timur Tengah, Stark berubah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Mendapati informasi jika senjata miliknya ternyata masih dijual ke Timur Tengah, Stark akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri melalui rancangan kostum besinya yang kini telah ia sempurnakan.

Seperti plot film superhero lazimnya nyaris tidak ada yang baru dalam Iron Man. Elemen cerita yang menarik justru pada sosok Tony Stark itu sendiri. Mungkin baru kali ini tokoh karakter superhero sebelum berubah adalah sosok yang tidak ideal perangainya, seperti halnya Peter Parker, Bruce Wayne, atau Bruce Banner yang cenderung kalem. Setelah mengalami pencerahan batin sikap Stark pun berubah drastis menjadi sosok yang lebih “manusiawi”. Hal ini juga tidak lepas dari pilihan kasting yang sempurna pada aktor Robert Downey Jr. yang begitu pas memerankan sosok Tony Stark. Karakter Stark yang memiliki pribadi keras, empati pada sesama, cerdas, sekaligus “nekat” tercermin sempurna dalam sosok sang aktor. Tidak berlebihan rasanya jika persona Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark berhasil mendekati persona Christopher Reeves yang berperan sempurna sebagai Clark Kent.

Baca Juga  Ghost Rider: Spirit A of Vengeance

Plot filmnya sendiri hanya menarik pada separuh durasi film dan selanjutnya cerita begitu mudah untuk ditebak. Nyaris sejak awal cerita pun karakter antagonis sudah bisa diduga. Agak aneh malah tokoh antagonis (Raza) di Timur Tengah yang awalnya menjadi sorotan utama demikian mudahnya bergeser ke sosok Obadiah. Agak disayangkan karakter tersebut disingkirkan demikian mudah dan cepatnya. Sekuen pertempuran klimaks rasanya sudah sulit untuk dinikmati karena jelas bagaimana mungkin sang pencipta bisa dikalahkan oleh ciptaannya sendiri. That’s just the way it should be

Sekuen aksi dengan dukungan penuh efek visual (CGI) kembali menjadi nilai hiburan utama film ini. Kostum unik Iron Man yang tidak seperti kostum superhero lazimnya mampu ditampilkan begitu nyata dan meyakinkan. Sementara sekuen aksi seru ketika Iron Man diburu dua pesawat jet yang disajikan begitu realistik rasanya sulit dicari tandingannya. Demikian pula aksi Iron Man di wilayah Timur Tengah ketika melawan para tentara dan sebuah tank. Sementara sekuen aksi klimaks yang seharusnya menjadi andalan justru tampak tidak istimewa dan tak ubahnya seperti pertarungan para robot dalam Transformers.

Selain penampilan memukau Downey Jr., akting para pemain lainnya terbilang dibawah rata-rata. Paltrow tidak membutuhkan energi banyak untuk memerankan karakter Pepper Potts dan lebih sebagai pemanis belaka. Demikian pula Bridges sebagai si jahat Obadiah, tata rias wajah (jenggot) dan kepalanya yang plontos jauh lebih membangun image “jahat” nya ketimbang aktingnya sendiri. Karakter Kolonel Rhodes yang diperankan Terrence Howard adalah sungguh yang paling mengecewakan. Agak mengherankan kenapa mesti mengkasting aktor sekelas Howard untuk sekedar memainkan karakter ringan dan lemah seperti ini. Justru Shoun Toub yang bermain sebagai Yinsen mampu bermain kuat dan berkesan ketimbang para pemain pendukung lainnya.

Sisi lain yang menjadi perhatian adalah keberpihakan “politik” Hollywood terhadap sikap anti-perang serta menanggapi isu sentimen negatif terhadap warga Timur Tengah (khususnya kaum Arab) setelah tragedi 11/9. Film-film produksi Hollywood sebelumnya seperti Crash, The Kite Runner, Rendition, Babel, dan banyak lainnya telah menunjukkan tendensi tersebut. Namun film-film tersebut adalah film-film drama berkualitas tinggi yang notabene bukan film komersial (baca: film unggulan musim panas). Untuk kita mampu sesaat merasa trenyuh (baca: terharu) ketika sosok “sebesar” Iron Man turun langsung ke bumi Timur Tengah untuk menolong penduduk yang teraniaya. Sang jagoan di saat-saat genting mampu menyelamatkan ayah si bocah. Sang bocah pun menatap sang manusia besi dengan sorot mata yang penuh rasa kagum (dan harapan)…. ahh… sebuah pemandangan indah yang amat jarang tampak sepanjang sejarah medium film. That’s just the way a movie it should be

PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaDari Redaksi mOntase
Artikel BerikutnyaIndiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses