Film sebagai media hiburan juga bermanfaat sebagai media komunikasi. Media yang menyalurkan informasi ke masyarakat luas. Ketika film menjadi sebuah produk komersial yang menuntut penonton untuk membayar harga tiket bioskop, tentu penonton memiliki ekspektasi yang beragam dari film tersebut. Setidaknya, harapan untuk mendapatkan hiburan dan informasi mengenai konten film. Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude) adalah film yang mengangkat kisah tokoh pergerakan politik jaman Orde Baru yang hilang pasca lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan. Sosok Wiji Thukul menjadi daya tarik film seperti yang ditonjolkan dalam poster filmnya. Lalu, apakah Istirahatlah Kata-Kata menjawab ekspektasi penonton?
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
Bait pertama puisi karya Wiji Thukul tahun 1988 tersebut mungkin menjadi dasar gaya estetik yang diusung Yosep Anggi Noen sebagai penulis naskah dan sutradara. Film ini tidak banyak kata-kata, tidak banyak dialog dan berjalan sangat lamban. Penonton dibiarkan menikmati film dengan menerka maksud film tersebut. Mengapa film yang mengangkat sosok Wiji Thukul ini dibuat dengan mengangkat satu periode hidupnya saat pelarian ke Pontianak? Bukankah masih banyak informasi yang dapat disajikan untuk menambah konten film agar lebih informatif?
Sosok Wiji Thukul sendiri telah menghilang sejak tahun 1998. Saya yakin tidak semua orang mengetahui siapa kah Wiji Thukul. Sebagai peneliti yang tertarik pada isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta politik kiri saya cukup mengetahui sosok Wiji Thukul yang masih dapat ditemui di berbagai media salah satunya buku. Sayangnya, Istirahatlah Kata-Kata tidak memberikan informasi yang cukup detail mengenai sosok yang disebut-sebut sebagai pembela rakyat tertindas ini. Menampilkan satu adegan pernyataan bahwa ia terlibat dalam aksi protes buruh tidak serta merta dapat menguatkan latar belakang kondisi seorang Wiji Thukul yang harus melarikan diri ke sana ke mari karena ia masuk dalam daftar buron yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Orde Baru. Begitu pula penyajian puisi-puisi karya Wiji Thukul tidak menjawab kebutuhan informasi yang diharapkan. Alur film berjalan begitu lamban hingga saya harus melawan rasa kantuk atau pun desahan kebosanan teman-teman yang saya ajak untuk menonton film ini. Rasanya durasi 97 menit di dalam gedung bioskop ber-AC ini menjadi begitu nyaman untuk beristirahat dengan diiringi lantunan puisi yang disajikan. Ya, saya sengaja mengajak teman-teman karena kami memang tertarik dengan isu-isu politik haluan kiri pada masa Orde Baru.
Film sendiri bukanlah media yang diwajibkan menjawab dan memberikan informasi menyeluruh mengenai suatu peristiwa ataupun tokoh. Apalagi membuat kesimpulan dan keberpihakan. Sang sutradara berpendapat bahwa film tidak harus mengadili, tetapi menemukan ruang untuk memancing pemikiran orang. Begitu sineas mengadili itu berarti sineas tidak sedang membuat film. Tampak bahwa pembuat film ini tertarik untuk menarik perhatian masyarakat luas untuk menghadirkan kembali sosok Wiji Thukul di masa ini. Menjadikannya objek isu kekinian yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang dalam berbagai lingkup diskusi. Dan tampaknya film ini berhasil menarik perhatian, terbukti dengan banyaknya ajang diskusi publik yang diselenggaran pasca pemutaran film di bioskop. Sampai akhir bulan Januari ini film telah ditonton lebih dari 43.000 penonton.
Dengan sajian Istirahatlah Kata-Kata yang minim informasi dan alur yang berjalan begitu lamban, apakah tujuan mulia sang sineas dapat terwujud? Bisa jadi, karena penonton merasa film ini diluar ekspektasi justru malah melupakan dan tidak mengindahkan sosok yang diangkat dalam film tersebut. Meskipun di sisi lain terbukti bahwa forum-forum diskusi kemudian menjadi aktif membicarakan kembali sosok Wiji Thukul. Tetapi perlu diamati lebih lanjut, apakah orang-orang yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah kelompok yang sebelum menonton telah mengenal sosok Wiji Thukul atau belum. Dengan proses riset yang memakan waktu 1,5 tahun, tentu banyak informasi yang dapat diangkat dan disisipkan dalam film ini sehingga penonton lebih tergugah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Wiji Thukul dan pengalamannya dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Alangkah baiknya jika film ini mampu menarik perhatian lebih banyak masyarakat layaknya film-film komersil lainnya yang memperoleh jutaan penonton. Tentu saja film ini akan memberikan impact dan kontribusi yang lebih besar dalam lingkungan sosial.
Saya memiliki kekhawatiran tersendiri, yang mungkin mewakili suara masyarakat awam berdasarkan hasil riset kecil-kecilan yang saya lakukan terhadap lingkungan sosial saya dari berbagai kalangan. Berhadapan dengan berbagai pilihan judul film di bioskop baik film dalam negeri maupun manca negara, pencapaian penjualan tiket film masih didominasi oleh film dari manca negara khususnya Hollywood. Sebagian besar masyarakat masih lebih memilih menonton film Hollywood karena dianggap lebih menarik dan menghibur. Ketika film Indonesia menyisakan kekecewaan atas ekspektasi penonton, mungkinkah penonton akan mengambil jarak terhadap produk film Indonesia? Jangan-jangan, film Indonesia dengan gaya yang “unik” justru membuat masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menginvestasikan uangnya ke industri film Hollywood yang lebih memuaskan kebutuhan hiburannya. Memang tidak bijak rasanya jika terlalu menjustifikasi suatu film, tetapi kebutuhan masyarakat juga perlu menjadi pertimbangan di samping keinginan para pegiat film untuk menyalurkan ide dan gayanya. Kesinambungan ini akan berpengaruh pada industri film khususnya film Indonesia yang masih terus merangkak dalam usahanya merajai negeri sendiri.