Film ini diproduseri, disutradarai, dan ditulis oleh Yosef Anggi Noen, sineas independen asal Yogyakarta yang kini tengah naik daun setelah menang di beberapa festival level internasional untuk kategori film fiksi pendek. Sang sineas juga pernah membuat film panjang berjudul Vakansi Yang Janggal dan Penyakit lainnya. Istirahatlah Kata-Kata telah mendapat beberapa penghargaan antara lain film terbaik kategori non-bioskop di ajang Apresiasi Film Indonesia 2016. Wiji Thukul adalah seorang aktivis pada masa orde Baru yang hilang dan hingga kini belum tahu keberadaannya. Film ini adalah sepenggal kisah yang menceritakan tentang perjalanan pelarian sang tokoh dari satu tempat ke tempat lain. Cerita bermula dari penyelidikan di rumahnya di (Solo) oleh seorang intel. Mereka menggeledah rumah dan mencari informasi tentang Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) dari anak dan istrinya. Segmen selanjutnya adalah perjalanan Wiji Thukul dalam persembunyiannya di Pontianak.
Walaupun sang sineas sudah mampu untuk menggambarkan situasi politik hanya dengan teks di awal film dan suara radio yang memberikan informasi tentang situasi politik di Indonesia pada tahun 1996 kala itu, namun informasi tentang siapa tokoh ini sebenarnya dan apa perannya belum muncul. Padahal untuk bisa berempati terhadap sang tokoh kita harus mengenal tokohnya lebih jauh. Film ini akan lebih mudah dinikmati oleh orang yang tahu betul sosok Wiji Thukul ketimbang orang yang belum tahu seluk beluknya secara jelas. Background tentang siapa orang-orang yang membantunya dalam pelarian dan bagaimana koneksi itu terbentuk juga tidak jelas. Kurangnya informasi jelas membuat penonton awam sulit untuk memahami ceritanya.
Plot filmnya fokus pada adegan dan sudut pandang sang tokoh itu sendiri. Perjalanan selama di persembunyiannya akan lebih dramatis jika apa yang dilakukan sang tokoh dan apa yang menjadi ideologinya divisualisasikan dalam tindakan melalui adegannya. Sang sineas sudah menyinggung sedikit di awal ketika ia berbincang dengan beberapa teman seperjuangannya namun masih terasa dangkal. Film ini lebih mengeksplor keseharian mereka semata. Sang sineas nampaknya mencoba hanya fokus pada aspirasi sang tokoh dalam puisi yang dituturkan melalui monolog interior (suara batin).
Sang sineas juga fokus dengan bahasa gambar dalam penuturannya. Teknik Long Take sangat sering dipakai. Teknik ini berpengaruh pada tempo alur cerita yang berjalan sangat lambat. Tak masalah sebenarnya namun asalkan aksi demi aksi yang dimunculkan memiliki intensitas dramatik yang kuat. Cerita yang kuat akan punya nilai bagi filmnya sendiri dan penonton tidak akan merasa bosan dengan alur filmnya. Dalam banyak momen pasti penonton (awam) akan selalu bertanya dan bosan dengan shot-shot yang ditampilkan. Dialog-dialog keseharian yang dimunculkan juga tak membuat penonton bisa lebih menikmati filmnya.
Ruang-ruang kosong yang digunakan semasa pelariannya ini sudah ditampilkan baik merepresentasikan kesendirian dalam pengasingannya. Musik “puisi” pada ending filmnya sudah pas menutup filmnya dan menyimpulkan sepenggal kisah tentang Wiji Thukul. “Puisi-puisi” yang dituliskan muncul dari rasa “kegelisahan” hatinya sebagai salah satu warga yang merasa ditindas namun memiliki nurani untuk bebas. Namun apakah sang sineas juga memiliki “kegelisahan” yang sama untuk membawa film ini sebagai media untuk memvisualkan sang tokoh demi menyuarakan nilai-nilai kebebasan yang diperjuangkan sang tokoh? Sang sutradara tampak asyik bermain-main dengan bahasa gambar tanpa mengolah pesan besar yang bisa menjadi kekuatan filmnya. Kunci dari genre biografi adalah riset yang kuat serta bagaimana pembuat film mampu melakukan interpretasi serta mendramatisasi dalam memvisualisasikannya. Tak ada yang salah memang. Ini adalah sebuah pilihan yang tentu berujung pada sasaran penontonnya dan rasanya film ini tidak akan bisa dipahami betul oleh penonton awam.
WATCH TRAILER