Satu lagi horor dirilis menjelang Halloween, yakni It Lives Inside. Uniknya, film ini memadukan dengan mitologi lokal Asia Selatan yang diarahkan pula oleh sineas keturunan India, Bishal Dutta. Film ini dibintangi oleh bintang muda, Megan Suri, Neeru Bajwa, Mohana Krishnan, Vik Sahay, Gage Marsh, Beatrice Kitsos, serta Betty Gabriel. Akankah film horor unik ini menawarkan sesuatu yang baru?
Samidha alias Sam (Suri) adalah seorang gadis pintar keturunan India yang telah turun temurun tinggal di AS bersama keluarganya. Hubungan Sam dengan ibunya, Poorna (Bajwa) makin merenggang karena sang putri kurang menghormati tradisi dan budaya asalnya. Agar bisa membaur dengan rekan-rekan di sekolah, Sam juga menjauhi sahabat masa kecilnya, Tamira. Suatu ketika, Tamira yang berpolah aneh meminta bantuan Sam, namun ia menolak. Tamira pun mendadak hilang secara misterius, dan setelahnya Sam diteror oleh bayangan sesosok monster. Sam pun mencoba mencari tahu apa yang terjadi melalui buku jurnal milik Tamira.
Satu syarat film horor bagus adalah eksposisi dan intensitas ketegangan yang kuat dan konsisten. It Lives Inside tidak memiliki keduanya. Mitologi dan aturan main sosok sang iblis tidak memiliki pondasi yang kuat dalam kisahnya. Mengapa dan bagaimana ia bisa muncul menyeberang lautan ribuan mil? Apa ia hanya menyerang imigran? Bisa jadi ini tak penting, namun banyak hal lain yang janggal. Diceritakan sang monster memakan secara perlahan, fisik serta jiwa para korbannya, namun anehnya, orang di sekelilingnya yang berniat membantu justru langsung menjadi korban. Sisi horornya pun tak mampu dibangun dengan baik karena sisi teror yang teramat lemah. Nyaris tak ada sentakan dalam adegan horornya serta pula jump scare. Baik kisah maupun sisi horornya datar-datar saja.
It Lives Inside mencoba memadukan sisi horor dengan mitologi India, namun gagal dalam eksekusi dan pesannya karena sisi cerita yang dangkal dan teknis yang kurang menggigit. Kita semua tahu, kisahnya ingin mengarah ke mana melalui sosok Samidha yang menolak tradisi asal muasalnya. Untuk membuat satu pesan yang menyentuh dengan latar budaya seperti ini, tidak mungkin dilakukan tanpa adanya konflik dan masalah yang kuat. Banyak hal sepele dalam kisahnya tidak diolah baik hingga mampu memancing emosi penonton. Sisi tradisi dan budaya serasa hanya menjadi tempelan tanpa mengakar kuat dalam plotnya. Pembuat film rupanya kurang cerdik memanfaatkan atribut-atribut lokalnya. Bagaimana jika pesannya diartikan terbalik, sang monster adalah penjaga tradisi bagi para imigran yang melupakan adatnya? Andai saja film ini ditutup dengan sang monster yang muncul dari balik patung dewa yang menjadi hiasan rumah Sam, segalanya bisa berubah. Sayang, naskahnya melewatkan semua potensi kearifan lokalnya.