Belakangan, dunia cerita dalam film-film Indonesia tengah berkembang dengan menapakkan kaki ke genre-genre lain, termasuk superhero. Setelah ada Gundala dan Bumilangit lalu Gatotkaca dengan Satria Dewa, kini muncul Jagat Arwah melalui produksi Visinema Pictures. Bertugas untuk mengarahkan film ini adalah Ruben Adrian, yang beberapa kali lebih sering menjadi produser, dibantu Rino Sarjono yang lebih kerap mengerjakan naskah-naskah series, dengan cerita dari Mike Wiluan. Jagat Arwah dibintangi oleh Ari Irham, Kiki Narendra, Sheila Dara Aisha, Cinta Laura, Ganindra Bimo, dan Oka Antara. Sebagai film pembuka, apakah Jagat Arwah akan bernasib sama dengan Gundala dan Gatotkaca? Belum tentu rasa-rasanya.
Raga (Ari) merupakan pemuda keras kepala yang ingin meraih mimpinya menjadi seorang musisi dengan band-nya sendiri. Namun ayahnya, Sukmo (Kiki), melihat sang anak bahkan belum bisa bertanggung jawab ke hal-hal kecil. Pertengkaran Raga yang melawan ayahnya tidak pernah berakhir baik, sampai sang ayah meninggal. Ketika Raga memutuskan untuk mulai serius dengan mimpinya, berbagai macam gangguan dating. Paman Raga, Jaya (Oka), mencoba membantunya dengan mengenalkan dia dengan banyak hal baru. Tetapi perjalanan Raga masih panjang untuk bisa memahami peran yang sebelumnya dilakoni ayahnya puluhan tahun.
Jagat Arwah menampilkan eksekusi yang lebih baik dari sebuah film pembuka semesta cerita. Sang sineas tak terlampau ambisius maupun secara terburu-buru menyampaikan segunung informasi. Adrian dengan sabar menunjukkan aksi sang tokoh penjaga Batu Jagat, Raga, bersama sisi-sisi personalnya. Dibandingkan Satria Dewa: Gatotkaca yang kerap kali memaksa penontonnya untuk berlarian mengikuti alur cerita. Maupun Gundala dengan sejumlah ketiadaan alasan untuk beberapa momennya. Jagat Arwah yang boleh jadi akan memiliki semesta ceritanya sendiri layaknya Danur, punya peluang yang lebih baik ketimbang dua contoh film pembuka dunia sinematik dalam negeri dari kancah superhero.
Tokoh-tokoh dalam Jagat Arwah pun menempati porsi masing-masing dengan bijak. Walau keseimbangan peran-peran tersebut pada saat yang sama juga menimbulkan riak berupa dugaan-dugaan adegan dari penonton. Ada sejumlah eksekusi adegan dan pengambilan gambar yang kemudian memberi clue–clue kecil kepada penonton. Misalnya, seperti siapa sosok musuh besar yang mesti dilawan Raga pada akhir film. Sikap, perilaku, tindakan, dan segala kata-kata dari sosok tersebut lambat-laun semakin kentara, sebelum Raga mengalami pendewasaan diri. Namun terlepas dari ihwal penokohan, pengaturan dialog dan cara-cara pengucapan dari para pemeran tak seformal atau kaku kisah-kisah perjuangan from zero to hero kebanyakan.
Walau ada sejumlah tahapan pengembangan karakter dan penampilan tokoh yang diabaikan oleh sang sineas, sehingga melubangi salah satu bagian alur cerita. Bagian yang cukup krusial, karena berhubungan dengan personal sang tokoh utama melawan versi lain dari dirinya sendiri. Namun terlepas dari perkara ini, aksi dan kuatnya olah peran dari Ari Irham memang telah mengalami banyak kemajuan semenjak dari Generasi 90an: Melankolia dan Mencuri Raden Saleh.
Untungnya, Jagat Arwah tidak bermain-main dengan penggunaan kostum manusia super. Sang tokoh memang punya kekuatan supernatural atau menjadi orang terpilih, tetapi Jagat Arwah tidak berada di ranah pahlawan super. Alih-alih mengarah pada Gundala ataupun Gatotkaca, film ini justru mengingatkan pada Kuntilanak 3. Ketika Adrian dan Rino mengarahkan dan menulis cerita film mereka dengan mengeksplorasi kekuatan ajaib dan mengombinasikannya dengan hal-hal gaib. Meski Jagat Arwah menghadirkan sosok-sosok hantu yang lebih nyaman dipandang mata di pihak tokoh utama, ketimbang Kuntilanak 3 dengan para setannya. Pembicaraan ihwal hantu dalam film horor Indonesia bukan lagi soal tokoh utama melawan setan jahat dengan muka menyeramkan. Bisa dibilang, ada bagian dari Jagat Arwah yang pernah pula dilakukan dalam seri Danur, yakni sang tokoh yang bekerja sama dengan para hantu.
Jagat Arwah semacam solusi untuk kehadiran kisah manusia terpilih dengan kekuatan super dan lokalitas horor tanah air dalam film Indonesia. Visinema tampaknya memiliki cara lain dalam mengangkat unsur-unsur dalam negeri yang lekat dengan masyarakat. Bukan membicarakan tokoh-tokoh pewayangan, atau mengadaptasi komik-komik pahlawan super. Kendati ada sebagian kecil dalam Jagat Arwah yang menunjukkan keterlibatan elemen-elemen Jawa dengan pewayangannya di dalamnya. Setelah semua itu, akankah Jagat Arwah punya semesta sinematik sendiri? Ataukah hanya akan berlanjut dengan beberapa sekuel? Kita nantikan saja ke depannya.