Kapan kali terakhir menonton film drama percintaan usia 40-an dalam warna hitam putih? Begitulah Yandy Laurens mengarahkan dan menulis skenario Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Produksinya merupakan kolaborasi antara Imajinari, Jagartha, Trinity Entertainment, dan Cerita Film. Masih pula diperankan oleh para pemain reguler kenalan sang produser maupun sutradara, yaitu Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Sheila Dara, Dion Wiyoko, Alex Abbad, Julie Estelle, dan Abdurrahman Arif. Melihat nama-nama yang duduk sebagai produser dan sang sineas pun jarang mengecewakan, bagaimana dengan film ini?
Bagus (Ringgo) merupakan penulis skenario (pesanan) untuk film-film adaptasi. Sampai suatu hari pertemuannya kembali dengan Hana (Nirina) memantik ide untuk membuat skenario orisinalnya sendiri berdasarkan pengalaman pribadi. Menceritakan dirinya dan Hana setelah pertemuan tersebut. Namun, Hana baru saja mengalami kehilangan orang yang paling dicintainya. Jadi Bagus tak boleh serampangan menggali informasi dari Hana. Sebagaimana saran dari dua sahabatnya, Cheline (Sheila) dan Dion (Wiyoko). Harusnya demikian. Sementara itu, sang bos, Pak Yoram (Alex) malah terus mendesak Bagus agar cepat-cepat menyelesaikan skenarionya.
Jelas sekali totalitas Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memainkan konsepnya. Bagaimana interpretasi hitam putih memang menjadi masuk akal untuk digunakan dalam hampir sebagian besar film. Tak kemudian penceritaannya menjadi absurd dan sukar dicerna karena inti kisahnya masihlah ihwal drama percintaan antardua orang berusia 40-an. Tentu sendu dan muram, sebagaimana emosi Hana. Tampak sepi dan terasa sarat perenungan. Karena cerita berjalan dengan (seakan) menjadikan Hana sebagai porosnya. Pergerakan kamera pun tak banyak bermain eksploratif, kecuali untuk kebutuhan mocking.
Salah satu sisi menarik dari Jatuh Cinta Seperti di Film-Film hingga mampu menarik animo besar dan perhatian dari penonton adalah komedinya. Film ini terang-terangan melakukan parodi dan melontarkan sindiran-sindiran mengejek banyak hal dalam perfilman. Mulai dari proses syuting film, penceritaan dalam film-film percintaan, selera masyarakat dalam menonton, dan masih banyak lagi. Sisi mocking inilah yang berhasil menghibur khalayak yang notabenenya selama ini memang benar adanya. Memang, jika dibilang Jatuh Cinta ini sebagai salah satu film Indonesia yang berbeda dalam satu tahun ini. Meski tentu bukan hal baru bagi perfilman di luar. Dua film yang dua tahun lalu juga mampu tampil dengan baik walau berbeda ialah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) dan Aum! (2021).
Hitam putih Jatuh Cinta mau tak mau menggunakan dialog untuk menyampaikan banyak hal. Termasuk sesederhana menyebutkan warna bunga yang dibeli Hana. Sisanya adalah obrolan demi obrolan yang sarat sindiran. Namun, olah peran para pemainnya membuat setiap lontaran kalimat dari mereka terdengar natural. Khususnya chemistry Ringgo dengan Nirina yang telah terbentuk sejak Kamulah Satu-Satunya (2007) dan Get Married (2007).
Meski sebetulnya Jatuh Cinta berangkat dari ide yang sudah biasa dan jamak untuk genrenya. Rasa hampa setelah ditinggal orang tercinta hingga tak memungkinkan terbuka untuk orang baru, pertemuan kembali dengan teman lama atau orang dari masa lalu, maupun romansa pasangan yang tak lagi muda. Misalnya Kejar Mimpi Gaspol! (2023), Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga (2022), bahkan Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016). Faktor terbesar yang menjadi tawaran dari Jatuh Cinta memang ialah hitam putihnya.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film sejak awal memang sarat konseptual lewat pilihan warnanya, walau berangkat dari ide yang sudah biasa. Namun, film ini terbilang berhasil dengan perbedaannya. Inilah berbeda yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan asal-asalan atau sekadar berbeda belaka tanpa tawaran apa-apa dari segi cerita seperti 24 Jam Bersama Gaspar. Lagipula, drama keluarga maupun drama percintaan dengan komedi sudah jadi andalan, baik bagi Yandy maupun dua produsernya, Ernest dan Bene Dion.