Ali Abbas Zafar kembali setelah 3 tahun pasca merilis film Bharat yang disutradarainya. Dengan Jogi, film terbarunya yang diperankan oleh Diljith Dosanjh, Mohammed Zeeshan Ayyub, dan Kumud Mishra. Mengambil latar wajah kekacauan kota Delhi pada tahun 1984—sebuah Operasi Bintang Biru. Di mana penjarahan dan pembantaian besar-besaran dilucutkan kepada orang-orang Sikh.
Trilokpuri 31 Oktober 1984 adalah sebuah daerah di ujung New Delhi yang aman dan tentram. Di sana berkembang berbagai macam etnis, kaum, dan agama. Sikh adalah salah satu yang terbesarnya. Seorang pria yang bernama Jogi hidup bahagia dengan keluarganya. Sampai pada satu waktu sebuah berita kematian seorang menteri bernama Indira Gandhi mengubah segalanya. Menteri terssebut dibunuh oleh dua pengawalnya sendiri yang berasal dari kaum Sikh. Dari kejadian nahas tersebut menyebabkan beberapa pihak yang pro terhadap Indira Gandhi—dan melihat kesempatan menduduki kekuasaan—meluncurkan serangan dengan mengerahkan polisi dibersamai ratusan preman, untuk membantai semua orang Sikh yang ada di New Delhi. Salah satunya orang-orang Sikh yang bermukin di daerah Trilokpuri.
Tejpal Arora, adalah inisiator dan diktator yang haus kekuasaan—ialah dalang di balik pengintaian dan pembantaian para kaum Sikh. Rawinder dan Lali adalah polisi yang berada di bawah perintahnya. Namun di sisi lain, Rawinder dan Lali merupakan sahabat dari Jogi. Dengan tekad pertemanan, Lali berusaha membantu Jogi beserta keluarganya untuk menyelamatkan diri. Tetapi Jogi menolak, ia ingin tidak sekadar menyelamatkan keluarganya, melainkan semua kaumnya yang masih hidup. Jogi membawa kaumnya dalam perjalanan menghindari kematian ke Negara Bagian Punjab, daerah orang-orang Sikh berada.
Selain tarian dan percintaan yang terkadang hampir mengundang keprihatinan dan air mata. Sesungguhnya Bollywood, juga sering memanfaatkan isu-isu sosiokultural, kebobrokan organ-organ di lembaga pemerintahan, genosida etnis, sampai klasifikasi kasta serta diskriminasi atasnya—menjadi narasi besar dalam film-filmnya. Keseluruhan itu bisa hadir secara telanjang, bisa juga hadir secara sembunyi-sembunyi—tersirat—bahkan metaforis. Sebelum Jogi, sebuah film yang berjudul Article 15 menjadi narasi yang dengan telanjang menggambarkan sikap diskrimatif terhadap kaum dalit di salah satu negara bagian di India. Begitu pula yang terjadi pada film White Tiger.
Premis-premis besar dan penting—yang membeberkan keburukan negara sangat berani ditampilkan oleh sineas-sineas Bollywood. Dan menariknya, itu bisa menjadi pergumulan panjang—dan asik untuk ditelisik lewat kajian-kajian akademis. Tapi yang menjadi sebuah pertanyaan penting jikalau kita bergeser ke lingkungan sinema adalah: apakah film-film yang disebutkan di atas berhasil menceritakan premis semacam itu dengan baik? Mampu memanfaatkan medium film dengan lugas? Tentu akan menimbulkan jawaban yang kontradiktif. Secara ide, Article 15 dan White Tiger sangatlah substansial. Namun ketika ia kembali ke dalam film, ada banyak aspek yang musti diperbaiki. Begitu pula yang terjadi dengan Jogi.
Jogi adalah film yang memuat gagasan besar, tapi oleh sang sineas belum bisa dinarasikan dengan padat, dengan baik, dengan cermat. Banyak sekali aspek yang berantakan dalam film ini. Seakan semuanya dibentuk begitu saja tanpa ada koreksi yang memadai. Mungkin bagi penonton awam, Jogi hanyalah hiburan menegangkan belaka. Namun tidak bagi pegiat dan pengamat-pengamat film. Jogi adalah memori kolektif akan sebuah peristiwa yang mengerikan—dan film haruslah mengejawantahkan itu dengan penuh perhatian. Sayangnya oleh sang sineas Jogi dikonstruksi dengan ala kadarnya dan jelek sekali.
Jangankan dari aspek sinematik. Jogi, dari aspek naratif saja sudah menuai banyak kekacauan kalau kita lebih teliti terhadapnya. Terlalu bertumpuk yang ingin disampaikan pada khalayak—dan itu tanpa motif yang benar-benar kuat. Keterangan karakter Tejpal tidak begitu dijelaskan dengan baik kenapa ia memiliki pengaruh yang kuat dalam mengerahkan polisi. Tak hanya itu—seketika tumpuan narasi juga berganti dari yang mulanya genosida terhadap orang-roang Sikh, menjadi panggung mengharu-biru sebuah persahabatan, dan percintaan yang gagal. Akhirnya tujuan primer tumpang tindih dengan tujuan sekunder yang sebenarnya tidak ada kontribusi apapun bagi perkembangan cerita.
Jogi begitu jauh dari kata sempurna. Arti persahabatan dan soal-soal cinta hadir tanpa disaring kepentingannya terlebih dahulu. Tak banyak penawaran yang dapat kita ambil dari Ali Abbas Zafar dalam filmnya. Malah apa yang ingin disampaikan sulit untuk dilacak—benar-benar membingungkan. Dan terdapat beberapa adegan-adegan marah dan tangisan justru terkesan menjijikkan karena lahir dari alasan-alasan yang remeh. Premis yang begitu besar—yang semestinya menjadi alarm pengingat bagi India pada umumnya dan Sikh pada khususnya—mengenai sebuah kejadian yang memilukan—luntur seketika tiada bersisa. Ali Abbas Zafar belum punya kemampuan merekonstruksi sebuah peristiwa melalui medium film dengan baik.