john carter
"JOHN CARTER" John Carter (Taylor Kitsch) ©2011 Disney. JOHN CARTER™ ERB, Inc.
John Carter diadaptasi dari seri pertama seri novel populer “Barsoom”, yakni  A Princess of Mars (1917).  Total novelnya ada 11 buah yang sebagian besar mengisahkan tentang petualangan John Carter di planet Mars (Barsoom). Film fantasi petualangan ini berlatar cerita tahun 1868 tentang seorang pria penggali emas asal Virginia, AS, bernama John Carter yang secara tak sengaja terdampar ke planet Mars. Gravitasi Mars yang lebih ringan menyebabkan Carter bisa melompat sangat tinggi dan kuat secara fisik. Carter terjebak di antara konflik skala besar di antara suku-suku yang ada di sana. Carter dipuja bak dewa dan dijuluki Dotar Sojat. Di lain pihak ia sendiri juga harus mencari jalan untuk pulang ke bumi.
Seperti film fantasi dan fiksi ilmiah lazimnya, film ini juga kaya akan efek visual. Film ini jelas lebih baik ditonton dalam format 3D ketimbang 2D. Gambarnya benar-benar hidup, meyakinkan, dan sangat memanjakan mata terutama segmen di Mars. Nyaris sulit dibedakan antara rekayasa digital dengan live action, baik setting, karakter, pesawat, dan sebagainya karena semua gambarnya benar-benar menyatu. Sejauh ini rasanya John Carter adalah pencapaian efek visual (CGI) terbaik yang pernah ada. Bujet $250 juta benar-benar terbayar.
Menonton film ini mengingatkan pada film-film sejenis yakni, Time Machine dan Star Wars: Attack of The Clone. Film-film ini juga sangat kaya efek visual namun entah mengapa kita kehilangan sesuatu sewaktu menonton hingga kita tidak mampu menyatu dengan filmnya. Entah plotnya berjalan terlalu cepat, kurangnya penokohan, atau bisa pula karena gambarnya yang terlalu artifisial, entah apa pun itu yang jelas kita sulit peduli dengan karakter-karakternya. Singkatnya, John Carter seolah tak punya jiwa. Durasi film untuk kisah sebesar ini rasanya kurang lama.
John Carter hanya semata menawarkan keindahan visual. Kisahnya rasanya terlalu “old fashion” untuk penonton masa kini, sama kasusnya seperti film animasi Tintin baru lalu. Membuat film fantasi atau fiksi ilmiah sebesar ini memang tidak mudah namun faktanya banyak yang film berhasil, seperti film medioker, The Chronicles of Riddick, sekalipun artifisial namun karakter Riddick mampu menghidupkan filmnya.  Jika sukses, sekuelnya telah menanti, dengan potensi hingga sepuluh film lagi. Kita hanya berharap sekuelnya bisa lebih baik dari ini.
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaSafe House
Artikel BerikutnyaThe Woman in Black
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses