Setiap harinya masyarakat Indonesia selalu menantikan berbagai film yang akan segera mewarnai layar bioskop. Para film maker-pun juga saling berlomba-lomba memproduksi berbagai film dengan berbagai genre dengan kualitas yang semakin baik pastinya. Maka dari itu tidak heran jika perkembangan film di Indonesia kini menuju ke arah yang lebih baik, tidak hanya sineas-sineas yang sudah memiliki nama dalam dunia sinema, namun kini filmmakers yang masih bisa dikatakan belia dalam dunia sinema mulai patut dilirik kehadirannya.

Ribuan bahkan hingga ratusan ribu orang dalam satu hari bisa menyerbu bioskop. Mereka tidak sabar menantikan film yang sudah dinantikan kehadirannya karena menonton kini sudah menjadi budaya dan trend masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah atas. Kini, kita dengan mudah mendapatkan data jumlah penonton film Indonesia per minggunya. Rekor sebesar 6.858.616 penonton masih dipegang Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, dan sekuelnya pun mencapai angka 4 jutaan penonton. Kemudian baru-baru ini yang membuat kita tidak kalah mencengangkan adalah film horor, Pengabdi Setan karya Joko Anwar yang menembus 3 juta penonton melewati rekor Danur. Jumlah yang sangat fantastik bukan? Namun, jumlah penonton yang fantastik itu apakah sudah mewakili setiap penduduk Indonesia? Apakah jumlah penonton tersebut sudah tersebar di Indonesia dengan merata? Atau bioskop hanya terpusat di beberapa wilayah di Indonesia saja?

Persebaran bioskop yang tidak merata di Indonesia memang menjadi sebuah permasalahan yang tidak henti-hentinya. Persebaran jumlah penduduk, bahan pokok bahkan persebaran listrik dan bahan bakar hingga kini pun belum tuntas diatasi, lalu bagaimana dengan persebaran bioskop di Indonesia?

Kalau di hitung-hitung jumlah penduduk di Indonesia memang sangatlah besar maka tidak heran menduduki populasi penduduk terbanyak setelah Tiongkok, India, dan AS, yaitu sekitar 258 juta orang. Lalu dengan penduduk sebanyak itu, berapa layar bioskop yang ideal kita butuhkan agar masyarakat dari sabang sampai marauke bisa menonton film di bioskop? Agar para penduduk di seluruh Indonesia bisa malam mingguan atau hang-out bareng di bioskop?

Baca Juga  Ketika Film Remake Menjadi Pilihan

Kini jumlah layar bioskop Indonesia hanya sekitar 1.118 layar. Dibandingkan jumlah penduduk, luas wilayah dan ditambah Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau-pulau ternyata sangat tidak seimbang. Para penonton di bioskop hanya berpusat di Pulau Jawa saja. Kasihan mereka yang ada di ujung Sumatera atau di ujung Timur Pulau Indonesia. Mereka juga ingin bertemu “Ibu yang sudah bisa bangun” atau mengikuti polemik kisah kasih Cinta dan Rangga di bioskop.

Dengan jumlah penduduk yang sangat besar ini, jumlah layar bioskop kita ternyata amat jauh jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. Rasio layar berbanding seratus ribu penduduk Indonesia adalah sebesar 0,4. Angka ini masih terlalu kecil dibandingkan negara-negara tetangga kita, seperti Singapura (3,9), Malaysia (2,4), dan Thailand (1,2). Angka ini jauh sekali dengan negara-negara raksasa industri film, seperti AS (14), Inggris (6,8) dan Korea (4,3). Jumlah layar di Indonesia pun juga masih terpusat di Pulau Jawa sebesar 85% dan 35% dari angka tersebut berada di Kota Jakarta.

Tidak heran, keberadaan layar bioskop Indonesia membutuhkan peran dari berbagai pihak. Pemerintahan Jokowi bersama berbagai badan terkait kini sedang bekerja keras memompa investor di Indonesia agar jumlah layar bisa semakin bertambah dengan signifikan. Pemerintah sendiri menargetkan sebanyak 4000 layar bioskop pada tahun 2019. Semoga segera terealisasi agar semua orang dari sabang sampai marauke bisa melihat film di bioskop. Selain itu jika jumlah layar seimbang dengan jumlah penonton pasti akan membangkitkan para sineas untuk berkarya lebih dari sebelumnya. Semoga juga muncul berbagai tayangan yang tidak hanya menghibur tapi juga yang mengedukasi. Hidup perfilman Indonesia, semoga lahir semangat yang terus membara!

SUMBERwww.bkpm.co.id – artikel “Menyambut 4000 layar bioskop”.
Artikel SebelumnyaKuroko’s Basketball: Last Game
Artikel BerikutnyaThor: Ragnarok
Tia Sukma Sari lahir di Salatiga 14 November 1994. Sekarang ia masih menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Film dan Televisi. Kesukaannya terhadap dunia baca dan menulis membuatnya memilih konsentrasi di penulisan naskah film fiksi. Ia cukup aktif menulis di tumblr-nya, dan sekarang mencoba untuk semakin rajin menulis ulasan film.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.