Watch our video review in english below.

     Saya masih ingat tiga dekade lalu, saat menonton Jurassic Park (JP) dengan segala pencapaian visualnya yang luar biasa hingga mampu membuat penonton terkesima. Namun, kini semua telah jamak, saat ini adalah era emasnya CGI. Tak ada apapun yang tak bisa dibuat dalam film. Beberapa genre besar masih mengandalkan aspek visual dan beberapa diantaranya sukses, dan beberapa juga gagal (komersial dan kritik). Kegagalan utama dalam banyak kasus bukan karena pencapaian efek visual tetapi adalah karena lemahnya cerita. Cerita yang kuat tentu mampu membuat penonton masuk ke dalam cerita tanpa efek visual canggih sekali pun. Seri JP bisa jadi adalah satu pengecualian, sejak sekuelnya The Lost World hingga kini, faktor cerita terbukti bukan menjadi penyebab suksesnya, namun adalah sensasinya. Jurassic World membuktikan dengan sukses globalnya meraih lebih dari $2 miliar dengan kualitas cerita yang begitu buruk, setidaknya menurut saya.

     Tak ada ekspektasi tinggi ketika menonton Fallen Kingdom. Ekspektasi saya turunkan rendah sekali mengingat kualitas film sebelumnya. Hal yang tak saya duga sama sekali, Fallen Kingdom ternyata jauh lebih buruk dari yang saya bayangkan. Benar-benar mimpi buruk. Tak ada poin kali ini. Saya membiarkan penonton untuk menilai film ini karena saya terlalu lelah menonton karena tak ada apa-apa di sini. Singkatnya, kisah film ini hanya mengulangi formula seri sebelumnya.

      Alkisah sejak peristiwa Jurrasic World, dinosaurus berkembang bebas di Pulau Isla Nublar di tengah puing-puing taman modern yang kini telah hancur. Gunung api yang ada di pulau tersebut diperkirakan akan meletus hebat hingga membinasakan semua dinosaurus malang yang ada di sana. Polemik pun terjadi. Satu pihak ingin menyelamatkan mereka dan satu pihak lagi membiarkan hal tersebut terjadi. Ian Malcolm, sosok jagoan kita di seri pertama dan kedua, beropini untuk membiarkan spesies langka ini untuk punah kedua kalinya. Sementara jagoan baru kita, Owen dan Claire, dibantu sahabat kolega lawas John Hammord (seri pertama), berupaya untuk menyelamatkan mereka. Dalam perkembangan, pihak tertentu justru ingin mendapatkan keuntungan dari situasi pelik ini. Oh my, mestinya mereka mendengarkan omongan Ian sejak dulu.

Baca Juga  Dark Waters

     Apa lagi yang mau dikomentari dari kisahnya? Sejak awal, sudah mudah sekali ditebak ke mana arah ceritanya. Semua plot diarahkan untuk memotivasi agar situasi aksi terjadi. Sejak awal hingga akhir nyaris plotnya tak ada jeda, dan kisah terus bergerak. Aksi-aksi yang tak masuk akal terus disajikan tanpa kompromi yang membuat penonton mungkin tak sempat berpikir lagi jika segalanya terjadi di luar nalar. Tak ada ketegangan, tak ada kejutan, tak ada humor, semuanya serba hambar. Segmen kedua di bangunan kastil besar, mengingatkan banyak segmen plot “alien” dengan beberapa adegan “horor” yang cukup lumayan, walau tak terasa juga tensi ketegangannya. Sesuatu yang diharapkan menjadi kejutan tentu tak akan menjadi kejutan jika sudah pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa shot individual disajikan sangat baik, seperti misalnya di penghujung segmen di pulau. Selebihnya, baik efek visual, musik, dan lainnya terbilang standar. Padahal kita tahu, Jurrasic Park menggunakan ilustasi musik begitu megah dan dominan untuk mendukung semua adegannya.

     Jurassic World: Fallen Kingdom adalah film terburuk dari franchise-nya dari segala sisi tanpa berani melakukan suatu percobaan baru. Gelagat naskah yang buruk sebenarnya sudah terlihat dari film sebelumnya. Penulis naskah masih saja tampak berusaha bermain aman dengan mengulang formula cerita sebelumnya. Hal yang terjadi kini adalah kelelahan franchise-nya. Kegagalan komersial Solo bisa menjadi acuan bahwa penonton bisa saja jenuh dengan franchise populer sekalipun, terlebih jika tak menawarkan sesuatu yang baru. Sensasi film lalu rasanya tak akan terjadi kali ini. Seperti titelnya, bisa jadi ini adalah awal kehancuran seri film ikonik ini.

WATCH OUR REVIEW

PENILAIAN KAMI
Overall
- %
Artikel SebelumnyaTully, Mengajak Kita Memahami Perempuan
Artikel BerikutnyaNew Trailer: Bumblebee
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.