Justice League (2017)

120 min|Action, Adventure, Fantasy|17 Nov 2017
6.1Rating: 6.1 / 10 from 486,646 usersMetascore: 45
Steppenwolf and his Parademons return after eons to capture Earth. However, Batman seeks the help of Wonder Woman to recruit and assemble Flash, Cyborg and Aquaman to fight the powerful new enemy.

Justice League (JL) adalah salah satu film yang paling dinanti para penggemar genre superhero dan komik DC, serta merupakan film ke-5 dari DC extended Universe (DCEU). Dengan bujet sekitar US$300 juta,  film ini kembali mengkasting bintang-bintang yang sama, yakni Ben Affleck, Gal Gadot, Henry Cavill, Amy Adams, Jeremy Irons, serta beberapa nama baru, seperti Ezra Miller, Jason Momoa, dan Ray Fisher. Studio Warner Bros. masih mempercayai Zack Snyder untuk menggarap JL, setelah BvS dihajar para kritikus habis-habisan tahun lalu. Lantas kini, bagaimana sang sineas menjawabnya? Jawabnya, JL bahkan lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

Tak ada ringkasan cerita di tulisan ini karena penonton pasti sudah tahu gambaran inti plot filmnya dari trailer-nya, yang gencar sejak beberapa bulan terakhir. Sejak awal kemunculan trailer-nya, gelagat buruk sudah tampak, aspek CGI yang tampak kurang oke, tone yang suram, belum terhitung dialog yang buruk (walau disajikan sekilas). Nyatanya memang benar, dan bahkan rupanya sisi buruknya tidak hanya ini. Untuk menonton film ini, rasanya tidak terlalu banyak berpikir. Bahkan jika Anda memang sudah terbiasa menonton film, ending-nya pun mudah sekali diantisipasi. Amat mudah.

Kita sudah tahu karakter Superman, Batman, dan tentu saja Wonder Woman yang menawan dari film-film sebelumnya. Namun, tokoh superhero yang lain, amat minim penokohan. Flash dan Aquaman adalah satu karakter DC yang amat ikonik, yang tak hanya bisa dijelaskan begitu saja dengan sekilas. Sama halnya dengan tokoh Wonder Woman di BvS. Tanpa latar belakang yang memadai, film ini tak ada emosi sama sekali. Chemistry di antara mereka menjadi kurang greget dan datar. Tak ada satu tokoh pun yang benar-benar terancam atau dalam situasi genting. Hal ini menyebabkan intensitas ketegangan sepanjang film menjadi nihil, dan kita semua tahu you know who akan datang dan save the day. Tidak ada sesuatu yang bisa kita benar-benar pedulikan di sini. Semua terasa kosong, serba memaksa, dan bergerak begitu cepat tanpa ada sesuatu yang berarti. Tampak sekali, JL hanya ingin mencuri start dari rivalnya, Avengers: Infinity War yang akan rilis tahun depan.

Baca Juga  Transformers: Rise of the Beasts

Setelah sukses kritik dan komersial Wonder Woman, saya sungguh berharap para pembuat film bisa tahu apa yang mereka kerjakan. Kita peduli dengan satu karakter ini dalam JL karena tokoh ini disajikan begitu menawan, emosional, dan menyentuh di film solonya. Tapi bagaimana tokoh-tokoh yang lainnya? Bahkan Batman sekali pun kini tak bisa kira rasakan emosinya sama sekali. Momen dramatik BvS di klimaks filmnya ketika ia bertarung dengan Superman masih bisa kita rasakan emosinya, namun tidak kali ini. Tokoh Barry Allen (Flash) dengan gayanya yang eksentrik mungkin sedikit mencuri perhatian penonton karena celotehan-celotehan konyolnya. Beberapa unsur komedi memang mengundang tawa, namun sisanya sebagian sudah bisa kita saksikan di trailer-nya. “What is your super power?” tanya Barry, “I’m rich” jawab Bruce Wayne. Tak habis pikir, mengapa banyolan macam ini justru ditampilkan di–trailer-nya.

Tidak berjiwa, memaksa, dan tak ada tensi ketegangan sama sekali. Justice League adalah satu usaha terburuk dalam sejarah genrenya untuk menghidupkan tokoh-tokoh superhero ikonik dalam sejarah umat manusia masa kini. Mau komentar apa lagi? Film ini adalah satu contoh buruk genrenya dari segala sisi kecuali untuk target penonton anak-anak. Silahkan bawa putra dan putri, atau ponakan Anda ke bioskop, dijamin mereka akan terhibur. Sekelompok pria yang duduk di belakang saya bersorak-sorai ketika para tokoh jagoan beraksi. Saya berharap sekali bisa seperti mereka, namun sayang sekali tidak.

Tak ada poin untuk film ini. Bukan karena film ini begitu buruk, namun saya menyayangkan jika tokoh-tokoh ikonik seperti ini hanya bisa disajikan seperti ini. Tokoh Batman, berhasil dihidupkan dengan brilyan oleh Tim Burton dan Christopher Nolan dengan gaya estetik mereka masing-masing. Pencapaian Batman di JL sama saja dengan merendahkan karakter superhero ini dalam film-film besar tersebut.
WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaFireworks, Should We See It from the Side or the Bottom?
Artikel BerikutnyaMessage From The King
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

4 TANGGAPAN

  1. Wah pedas! Kalau saya – setidaknya – masih bisa menikmati ketimbang BvS yang lalu. Ya meski memang JLA ini masih banyak kekurangan di sana-sini. BTW, salam kenal!

  2. selama nonton Dan setelahnya hampir tidak ada emosi yg terasa. Sebagai penggemar film superhero, walau tidak mengikuti komiknya, film ini hanya membuat saya mengerutkan dahi selama menonton. Humor yg dikemas kurang baik, dialog yg kadang terasa kurang mengalir, aksi yg kurang menegangkan dan pendalaman karakter tiap tokoh yg sangat dangkal.

  3. Hm.. ini jelas review dari fans berat mcu, sangat tidak objektif dan tidak bermutu, lebih pada ketakutan akan kebangkitan DC, menonton film dc dengan kacamata mcu jelas salah, Penampilan sekilas para superhero bukanlah masalah, karna kita akan melihat mereka secara utuh dalam film solo masing2,, justice league memberikan angin segar dan kenikmatan bagi fans nya, jika orang dengan latar pengetahuan yg kurang tentang justice league seperti anda tentu tidak akan mengerti hal2 esensial dalam film ini, Fans mcu terbiasa melihat tokoh nya bertingkah konyol dah berlebihan, DC menempatkan lelucon pada tempatnya.

    Jelas anda tidak akan bersorak sorai, karna anda tidak memahami makna di setiap scene nya..

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses