Series thriller kriminal, misteri, dan slasher macam pembunuh berantai termasuk jarang dibuat oleh sineas kita, karena tak punya banyak kedekatan dengan kultur lokal. Berdasarkan novel karya Anastasia Aemilia berjudul Katarsis, Randolph Zaini dan Husein M. Atmodjo (Pertaruhan: The Series/2022, Mencuri Raden Saleh/2022) mengerjakan naskahnya dengan judul sama. Katarsis juga merupakan karya debut Zaini sebagai sutradara series, setelah sekian lama bergelut dalam divisi suara lewat film-film pendek. Lain hal dengan partner menulisnya yang lebih mapan. Series produksi Screenplay Films ini telah tayang dengan total delapan episode dua-tiga bulan lalu melalui platform streaming Vidio. Para pemainnya yaitu Pevita Pearce, Sigi Wimala, Revaldo, Slamet Rahardjo, Bront Palarae, Prisia Nasution, dan Ratu Felisha. Melihat tema ceritanya demikian, bagaimana dengan eksekusinya?
Tara Johandi (Pevita) ditemukan selamat dalam sebuah peti kayu, usai pihak kepolisian mendapati dua orang tua angkatnya terbunuh di rumah mereka. Tara pun dilarikan ke pusat terapi karena dianggap mengalami trauma. Ia lantas secara pribadi ditangani oleh Dr. Alfons (Bront). Tara juga sempat tinggal sekamar dengan Paula (Felisha). Walau akhirnya kata-kata Tara malah memicu Paula untuk bunuh diri. Bersamaan dengan Dr. Alfons membawa Tara untuk tinggal bersamanya dengan dalih terapi, Marcello/Ello (Revaldo), putra seorang pembunuh berantai, Heru (Slamet Rahardjo), berupaya mendekati Tara. Ia pun terang-terangan kerap muncul saat Tara mulai bekerja di perpustakaan tempat kerja Ratna (Wimala). Namun, baik Tara, Dr. Alfons, Marcello, maupun Heru adalah target penyelidikan Jenny (Prisia), seorang detektif divisi kriminal di kepolisian.
Episode pertama Katarsis membuka series ini dengan kesan aneh terhadap beberapa tokohnya, Tara, Ello, dan Paula. Terutama Tara. Semacam ada kelainan psikologis dalam diri Tara, sehingga dia punya kecenderungan melibatkan diri dalam peristiwa pembunuhan, atau tertarik melihat kematian. Ada rasa penasaran terhadap kematian orang lain. Namun, saat khalayak meminta penjelasan, orang semacam itu jarang mau mengungkapkan motif dari semua perbuatannya. Meski ia boleh jadi bukanlah pelaku pembunuhan dalam cerita, atau sekadar dicurigai sebagai pelaku karena karakternya.
Setiap cerita pembunuhan setidaknya memiliki empat komponen, yaitu pelaku, motif, korban, dan cara si pelaku melakukan aksinya. Sepanjang cerita pasti ada satu atau dua bagian yang tertutup, sedangkan bagian lainnya sudah diketahui penonton. Beberapa film atau series bahkan hanya memberi informasi tentang siapa korbannya, sedangkan tiga komponen sisanya dibuka sedikit demi sedikit seiring film berjalan. Berbalas Kejam (2023) dan Pertaruhan: The Series (2022), misalnya. Sementara itu, Katarsis membiarkan penonton tahu pelaku dan korban, tetapi tidak untuk motif dan caranya. Keseruan pencarian identitas “whodunit” lantas dialihkan sineas ke karakter pelaku dan korbannya di sepanjang cerita. Apalagi setelah kita tahu lewat episode satu bahwa salah seorang korban, Tara, rupanya punya mental yang agak menyimpang.
Namun, episode dua malah berlangsung dengan konyol dan mual. Kita semua tahu bahwa Tara masihlah belum baik-baik saja. Kondisi psikisnya dapat terpicu gangguan kapan pun, sehingga kemudian secara impulsif melukai atau bahkan membahayakan nyawa orang lain. Jadi bagaimana mungkin satu-satunya pendampingnya –yang notabene merupakan psikolog—tidak mengawasinya sama sekali, minimal dari kejauhan? Bagaimana mungkin Tara dengan kondisi belum sembuh total dibiarkan lepas begitu saja dan berbaur dengan lingkungan acak? Bahkan sang psikolog tidak tahu sama sekali ke mana dan di mana Tara bakal belajar bersosial! Kecuali, sang psikolog telah menyarankan lingkungan-lingkungan yang berkumungkinan untuk dijajaki oleh Tara. Padahal dia selalu menghindarkan Tara dari upaya Jenny yang kerap merongrongnya untuk bertemu dan melakukan wawancara penyelidikan. Inkonsistensi dalam cara sang psikolog memperlakukan Tara agak sukar dinalar. Sebetulnya, seberapa besar kepeduliannya terhadap Tara yang dirancang oleh penulis Katarsis?
Lagipula sejak awal hingga penghujung episode terakhir, Katarsis tak terlalu terasa serius seperti kebanyakan thriller kriminal, misteri, dan slasher. Justru cenderung komedi kriminal. Ada banyak elemen yang mendukung kesimpulan ini, antara lain polah tingkah para tokoh, beberapa set padat warna, pengadeganan, tayangan di televisi, musik latar, hingga siaran berita di radio. Padahal ceritanya adalah ihwal pembunuh misterius dengan ciri khas peti kayu, tetapi kita seolah justru seperti sedang menonton roman komedi kriminal. Pun alih-alih menyeramkan karena sang tokoh utama bisa main tusuk sana tusuk sini dengan sebuah bolpoin, Katarsis justru cenderung lucu. Alih-alih tegang karena terdapat unsur pembunuhan, series ini justru ringan. Pihak kepolisian juga menyikapi peristiwa pembunuhan yang beberapa kali terjadi dengan santai dan tenang. Satu-satunya yang serius hanya Jenny. Itu pun diremehkan oleh rekan-rekan bahkan komandannya.
Salah satu yang paling mencolok dari Katarsis adalah set padat warnanya, baik lewat pencahayaan, properti, tone pewarnaan pada gambar, baju-baju, cat dinding, maupun interior bangunan macam kursi dan tempat tidur. Nyaris tak ada yang mencerminkan cerita berunsur pembunuhan yang lazimnya tegang, misterius, kejam, atau seram. Sebutkan warna-warna apa saja yang mencolok sekaligus tak biasa ada dalam cerita thriller kriminal dan slasher sehingga mengubah kesan menjadi cerita roman komedi. Hampir semuanya ada dalam Katarsis, seperti ungu, hijau, merah, merah muda, biru, hijau tosca, kuning, juga warna-warna pastel.
Katarsis, alih-alih merupakan series pembunuhan berantai misterius yang menegangkan dan menakutkan, justru tentang cerita roman komedi antardua orang kriminal polos yang psikopat dan sosiopat dengan hasrat sadistis dan masokhisme mereka. Tara dan Ello. Bahkan kencan mereka dalam episode tiga pun dilakukan dengan nonton bareng adegan penyiksaan terhadap orang-orang. Meski tebak-tebakan reka adegan pembunuhan oleh Tara dan Ello dalam episode ini dieksekusi dengan teknis yang menyenangkan. Penanganan yang bagus dari Amalia T.S. (Aruna & Lidahnya/2018, Arini by Love.inc/2022) sebagai pengarah gambarnya, untuk beberapa kali kesempatan yang tersedia dalam setiap episode. Begitu pula kerja editing yang dilakukan Reynaldi Christanto (Bumi Manusia/2019, Quarantine Tales/2020) dan Fajar Dwi Putra dalam dua-tiga episode terakhir.
Tara dan Ello juga melakukan kencan-kencan lain dalam episode berikutnya dengan merencanakan dan melancarkan aksi-aksi pembunuhan. Walau kemudian ada permainan jebakan, drama salah tangkap, pembalasan dendam, penyelidikan mendalam dengan lebih jernih, pengungkapan luka lama dari masa lalu, dan momen serius lainnya dihadirkan dalam empat episode akhir.
Rasanya, Katarsis adalah satu dari sedikit sekali series 21+ yang dengan berani ditayangkan oleh Vidio. Hanya, tidak terkira saja pahlawan super kita dalam Sri Asih, Pevita Pearce, bisa jadi sosiopat dalam Katarsis. Nyaman menyaksikan kematian seseorang, sulit menahan letupan emosi, kurang empati, sukar bersosialisasi, dan secara impulsif dapat asal tusuk orang lain saat terdesak. Pun demikian dengan Slamet Rahardjo. Lansia yang kerap tampil sebagai seorang bapak sepuh yang renta dan bijak (kadang tampak lemah), adalah si Pembunuh Peti Maut yang keji, dingin, dan sadis dengan puluhan korban dalam Katarsis. Dan jika kalian mencari-cari kata “katarsis” –yang mana merupakan judul series ini—berikut penjelasan dan kaitannya dengan cerita, maka kata itu muncul dalam episode lima. Beserta sejumlah kecil titik terang informasi dan sisa-sisa misteri yang perlahan ditunjukkan lewat tiga episode terakhir. Meski ada satu kondisi tak logis di akhir episode tujuh tentang pintu yang bisa-bisanya terkunci. Hanya untuk menciptakan adegan pendobrakan pintu oleh Jenny?
Namun demikian, tak dapat ditampik bilamana ada yang mengambil konklusi bahwa Katarsis adalah bentuk glorifikasi dari aktivitas kriminal macam pembunuhan (dalam cerita) dengan menyediakan beragam alasan. Juga pencarian jati diri Tara dan Ello yang sama-sama mempertanyakan identitas dan keinginan mereka yang sebenarnya. Terlepas sedikit atau banyaknya kesamaan dengan sumber cerita dari novelnya. Tidak buruk untuk debut series Zaini yang selama ini lebih sering bekerja di departemen suara. Dan tentu saja, aspek suara melalui latar musik dan lagu dalam Katarsis pun kerap mengisi banyak peristiwa. Ketika sutradara sebuah series atau film punya rekam jejak yang panjang dari salah satu bidang. Hal serupa yang juga sering terjadi dalam film-film arahan Anggi Frisca, yang berangkat dari sinematografi serta akrab dengan gambar-gambar dokumenter dan lanskap pemandangan luas.