Saya seorang pembuat film dokumenter pemula yang membuat film yang berjudul “Paku Buwono XII, Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi”. Film itu saya buat sebagai tugas akhir sebagai sarjana perfilman di Fakultas Film dan Televisi – Institut Kesenian Jakarta. Seingat saya ujian akhir dilaksanakan pada bulan Oktober 2004, saat itu berhasil menempuh ujian dengan sangat memuaskan.

Setelah menempuh kuliah selama 3 tahun, saya lulus sebagai videografer pada tahun 2002, kemudian langsung diterima bekerja sebagai kepala studio merangkap sebagai asisten dosen videografi di IKJ. Sebagai calon pengajar saya mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang sarjana dengan bea siswa.

Kegelisahan timbul setelah lulus saat film itu saya putar di beberapa pertemuan, baik di lingkungan keluarga Karaton Surakarta, lingkungan kawan-kawan, keluarga saya sendiri, mendapatkan respon biasa-biasa saja, bahkan ada yang mengatakan film ini gak jelas, ada juga yang mengatakan seperti video kawinan. Saya menjadi ragu, apakah betul saya sudah bisa bikin film sesuai nilai A-minus saya terima? Ataukah karena posisi saya saat itu sebagai asisten dosen, sehingga para penguji memberi nilai terlalu murah?

Untungnya di saat kegundahan itu seorang teman menyarankan untuk mengirimkan film saya untuk mengikuti Festival Film Indonesia 2005, katanya bila saja nanti film itu berhasil masuk nominasi, itu akan sangat berarti bagi film maker-nya. Saya ikuti saran teman itu walau saat pengirimannya pada saat yang sudah sangat mepet dead line.

Kegundahan akan penilaian para dosen penguji terjawab saat saya mendapat kabar bahwa film saya masuk nominasi. Menjadi salah satu dari 9 nominator yang dipilih dari 90 film yang masuk saya merasa sudah cukup puas. Saya merasa sudah bisa membuat film dokumenter… saya sudah merasa menang. Saya mengadiri upacara pesta Festival Film Indonesia 2005 di JCC saat itu dengan langkah yang sangat ringan tanpa beban dan berharap apapun, karena saya sudah merasa cukup puas sebagai nominator.

Saya merasa jantung saya hampir meledak saat film Paku Buwono XII dibacakan sebagai peraih citra 2005. Tak bisa saya ungkapkan bagaimana perasaan saya saat itu…saya merasa hadiah ini mukjizat Tuhan…Saya bersyukur kepada Tuhan, hanya karena Beliaulah ini terjadi…dan juga restu dari seorang Raja Jawa yang menjadi subyek film ini.

Mengapa Paku Buwono XII ?

Saya mengenal beliau sejak tahun 1993 pada saat saya bekerja di Solo, jauh sebelum saya kuliah di IKJ (tidak pernah menyangka kalau pada tahun 1998 akan terjadi krisis moneter yang menyebabkan saya kehilangan pekerjaan). Pada saat itu pimpinan saya membantu perbaikan beberapa kereta yang sudah berusia ratusan tahun di Karaton Surakarta, dan membantu pelaksanaan berbagai upacara di Karaton. Dengan perantaraan itulah saya saya masuk kedalam keluarga kerajaan, mulai berurusan dengan putra-putri beliau sampai dengan suatu saat saya berhubungan dengan sangat dekat dengan Sinuhun.
Dalam perjalanan persahabatan saya dengan PBXII saya menangkap karakter beliau sebagai pribadi yang sangat unik. Kehidupan sebagai seorang raja yang bertahta pada jaman kemerdekaan mengalami suka duka hidup yang amat kompleks.
Selama mengenal beliau banyak saya dengar di masyarakat tentang siapa dan bagaimana seorang PBXII yang cenderung negatif. Antara lain masyarakat umum mengatakan bahwa PBXII seorang raja yang pro Belanda, bebeda dengan Sultan. Namun anehnya Sinuhun tidak pernah mencoba membela diri atas apa yang dibicarakan orang yang cenderung mencibirkan beliau. Pada kesempatan lain, hampir setiap hari saya masuk Karaton. Pada saat saya berteduh di depan Sasana Wilapa (kantor PBXII) yang jarang dikunjungi Sinuhun, saya sering ditemani Kanjeng Pangeran Wirodiningrat. Pada suatu saat dengan menunjukkan sebuah map yang penuh dengan surat-surat penting KP Wirodingirat berkata: “Mas Wie, apa yang dikatakan orang di luar sana tidak semuanya benar…lihat surat-surat ini…ini sebagai bukti bahwa PBXII juga punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia”.
Dalam map itu saya melihat berbagai surat serah terima berbagai sumbangan PBXII untuk kepentingan NKRI, itu sudah cukup bagi saya bahwa beliau juga punya andil dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Seorang raja tidak harus ikut berjuang mengangkat senjata berperang meninggalkan keratonnya.
Rasa prihatin atas nasib beliau itulah yang mendorong saya untuk menjadikan PBXII sebagai subyek film saya, film ini saya dedikasikan sebagai tanda kasih dan bhakti saya atas bimbingannya kepada saya selama menjadi sahabat beliau.
Riset yang Matang
Seorang sahabat, sutradara dokumenter dari Amerika Michael Sheridan berkomentar “It’s all about access” sambil memuji kedekatan saya sama PBXII sesaat setelah dia menonton film saya. Memang hal itulah yang menurut saya yang merupakan faktor penting dalam membuat film dokumenter. Kedekatan dengan subyek menyebabkan kita leluasa dalam mengakses informasi, ruang, dan waktu. Persahabatan saya selama sepuluh tahun dengan PBXII sebelum saya membuat film tentang beliau merupakan perjalanan riset yang panjang dan dalam, yang tidak saya sadari sebelumnya. Semakin dalam dan lama kita berinteraksi dengan subyek, semakin banyak informasi dan berbagai permasalahan tentang subyek yang kita pahami. Dengan bekal pemahaman yang dalam tentang narasumber dan berbagai persoalannya akan menghantarkan film kita dapat bertutur dengan tepat tentang siapa dan bagaimana subyek kita. Disamping itu dengan kedalaman riset, kita bisa lebih jeli memilih bagian mana dari subyek yang sangat menarik, yang mengandung informasi penting, yang sedih, yang lucu, kemudian tepat meletakkan dalam alur film kita.
Salah satu tujuan riset juga membangun rasa saling percaya antar filmmaker dan subyek, kepercayaan seorang subyek sangat penting dalam film dokumenter tanpa ada rasa saling percaya mustahil bisa membuat film yang bagus, yang jujur, yang merepresentasikan sebuah kebenaran. Rasa saling percaya menyebabkan subyek kita siap saat menghadapi wawancara, maksud siap disini subyek tidak demam kamera, tampil sebagai dirinya sendirinya sendiri (tidak acting).
Salah satu cara untuk mempersiapkan subyek kita selama riset adalah secara perlahan memperkenalkan alat-alat elektronik sejak proses riset. Bila sudah mulai agak dekat dengan subyek, mintalah ijin untuk boleh merekamnya dengan handycam atau audio recorder sepanjang proses riset. Manfaat dari perekaman itu adalah, pertama: agar narasumber kita siap pada saat shooting /tahap produksi nantinya, karena sudah terbiasa berhadapan dengan peralatan elektronik saat riset. Kedua: sebagai back-up bila pada tahap produksi gagal mendapatkan intonasi wawancara dan ekspresi yang bagus seperti pada saat riset, rekaman suara maupun video handycam dapat dipergunakan untuk menjadi bagian dari film dokumenter kita, walau kualitas gambar dan suaranya tidak sebaik pada tahap produksi. Ekspresi dan intonasi yang bagus/sesuai sangat diutamakan, karena dalam film dokumenter kesedihan, kelucuan, harus nampak wajar tidak boleh direkayasa, film maker harus menangkapnya secara spontan. Rekaman seperti itulah yang harus kita tata untuk memberi nafas film kita.
Kamera Sederhana

Film Paku Buwono XII, hampir sebagian besar menggunakan handycam sederhana. Selama kita tahu bagaimana menggunakan kamera dengan tepat, bisa mengatur, balance, eksposur, focus yang tepat pasti dapat menghasilkan gambar yang baik. Jadi pada dasarnya handycam dapat digunakan sebagai alat untuk membuat karya yang baik selama menguasai aspek teknis dan aspek kreatif dalam membuat film antara lain, type of shot, camera angle, dan menguasai bahasa film.

Baca Juga  Generasi Biru, Bermimpi Akan Pulau Biru

Terima Kasih untuk PBXII

Piala Citra itu merupakan anugrah yang tak pernah saya bayangkan dalam hidup. Saya merasa film ini menang bukan semata-mata karena kemampuan seni film saya, saya yakin semua itu adalah karena Sinuhun, beliau yang sudah di alam lain mendorong saya untuk memperoleh semua ini.

Seminggu setelah mendapat Piala Citra, saya bersama seluruh keluarga nyekar ke makam Sinuhun di Imogiri dengan membawa serta piala dan paigam saya. Dengan meletakkan piagam dan piala itu di sisi makam beliau saya sungkem menyampaikan terima kasih saya atas segala dorongan beliau sejak saat beliau masih sugeng sampai beliau tiada sehingga saya memperoleh prestasi seperti ini.

Kalau saja saya bisa berkomunikasi dengan Suwagi Dalem PBXII, saya ingin menyanyakan apa yang beliau ingin saya lakukan untuk menyampaikan rasa terima kasih saya kepada beliau dan Karaton Surakarta Hadiningrat.

Kebahagiaan lain yang saya dapatkan adalah kesempatan memutar film PBXII di TA-tv Solo pada bulan Juni 2006, sehingga pesan yang saya tanamkan dalam film itu sampai ke masyarakat Solo yang merupakan wilayah kekuasaan Karaton Surakarta Hadiningrat. Setelah penayangan ada talk show interaktif dengan penonton. Saya sangat terharu saat beberapa orang menghubungi via telepon menyatakan rasa terima kasihnya karena setelah menonton film itu kini mereka tahu siapa dan bagaimana PBXII, Raja mereka.

I.G.P. Wiranegara

Artikel SebelumnyaThe Trap – What Happened to Our Dreams of Freedom
Artikel BerikutnyaSlumdog Millionare, Perpaduan Kesederhanaan dan Keindahan
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.