Ada momen paling saya ingat dari Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986). Selepas menikah, Ramona (Lidya Kandau) yang tinggal di rumah sementara suaminya Ramadhan (Dedy Mizwar) kerja jadi wartawan, membereskan rumah.
Tidak hanya beres-beres, menyapu, atau mengepel, Mona, sapaannya, juga menjual koleksi majalah lama suami ke tukang loak. Pulang kantor, suami bertanya mana koleksi majalahnya.
“Dijual,” jawab Mona santai.
“Itu bukan majalah bekas, tapi untuk dokumentasi,” kata Ramadhan, meski tak bisa melakukan apa-apa lagi.
Melihat itu, saya jadi ingat isti saya di rumah yang juga pernah membuang koleksi majalah-majalah lawas dan sejumlah komik saya karena katanya jadi sarang nyamuk… Hehehe…
Sudahlah. Toh, koleksi majalah dan buku saya bertambah terus. Dan istri saya belum melakukan aksinya lagi (meski sudah mengancam berkali-kali).
***
Siapa saja yang sudah menikah pastilah akan menonton film ini sambil tersenyum getir sekaligus kagum betapa pasnya Asrul Sani, sebagai penulis skenario menggambarkan manis-pahit sebuah perkawinan. Memang karikatural. Tapi, yang karikatur bukannya tak otentik.
Tengok misalnya, saat istri minta diantar jalan ke pasar untuk beli gorden. Di pasar, istri malah jalan ke sana-ke mari, dari satu toko ke toko lain, melihat-lihat pakaian, dan pulang malah membeli bak. Suami hanya ikut ke mana istri pergi.
Di Bintang Indonesia, seorang rekan pernah mencatat, film ini dibikin belasan tahun lampau namun skenarionya yang universal membuatnya tetap relevan di zaman Internet begini. Asrul Sani, salah satu penulis naskah film paling berbobot yang kita punyai, memberikan landasan cerita yang kuat bagi sutradara Chaerul Umam.
Film ini disempurnakan permainan kelas tinggi Deddy Mizwar, Lidya Kandau, Ikranegara, dan Ully Artha. Di Festival Film Indonesia 1986, Kejarlah Daku Kau Kutangkap memenangkan Piala Citra untuk kategori Skenario dan Film Komedi. Menurut data Perini, film berdurasi 109 menit ini ditonton 166.724 penonton di Jakarta, membuatnya terdaftar sebagai film terlaris kelima sepanjang tahun 1986.
Saya hendak menambahkan, inilah salah satu film terbaik yang pernah dibuat sineas kita. Bahkan, di genre komedi romantis, inilah film terbaik. Film ini bisa bersanding dengan sama hormatnya bersama film-film komedi romantis macam When Harry Met Sally (1989).
Kalau sekadar cerita seorang wartawan yang jatuh cinta, lalu kawin, dan kebetulan punya paman seorang bujang lapuk yang cerewet dan istri punya sahabat yang benci pria, apa menariknya?
Tapi, di sinilah kehebatan Asrul. Segala yang biasa-biasa itu ia bisa buat jadi menarik.
Plot film ini sederhana saja. Suatu hari, Ramadhan memotret Ramona sedang bertading volley. Fotonya dimuat di korannya untuk rubrik “Yang Bernasib Baik Hari Ini” dan yang difoto dipersilakan mengambil uang di kantor redaksi.
Masalahnya, di foto itu, Ramona sedang tak cantik. Atas bujukan Marni sahabatnya, Ramna ingin menuntut koran Ramadhan karena memuat foto tanpa izin. Ramadhan kemudian meminta Ramona mengurungkan niatnya. Eh, tak tahunya Ramadhan dan Ramona malah jatuh cinta dan menikah.Sungguh, tak ada yang istimewa dari plotnya. Tapi, Asrul menitipkan dialog-dialog bernas dan, mungkin juga, gagasannya. Kisah ini jadi karya karikatur polemik rumah tangga dan siapa yang berkuasa, laki-laki atau perempuan.
Lewat tokoh Markum (Ikranagara), Asrul menitipkan dialog begini, “Siapa yang menciptakan bahwa perempuan itu makhluk lemah? Ya mereka sendiri, para perempuan itu. Karena dengan begitu mereka bisa terus sembunyi di balik ‘kelemahannya’ untuk memperalat laki-laki jadi budaknya.”
Judulnya juga unik, Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Ini satu lagi istilah yang ditambahkan ke dalam kamus cinta. Paling tidak menurut film ini, laki-laki yang jatuh cinta lalu mengejar wanita yang dicintai, justru akan tertangkap. Dalam kamus cinta, mengejar bukan untuk menangkap, tapi ditangkap. Demikian nasib setiap laki-laki yang mengejar cinta.
Ya, cinta memang absurd. Hubungan Ramadhan dan Ramona seperti begitulah. Antara cinta dan benci. Antara cinta dan gengsi. Cinta sederhana yang dibikin rumit dengan kalkulasi serta keinginan menyetarakan kedudukan.Sebagian orang bilang ini satir tentang the battle of sexes. Tapi ini juga film manis yang memenangkan cinta.
Di luar tema ceritanya, Asrul dengan tepat menempatkan formula klasik film komedi romantis khas Hollywood ke dalam film bikinan anak negeri. Hebatnya, tanpa perlu menjiplak karena apa yang keluar darinya adalah gayanya dan kosa kata miliknya.
Mudah mendeskripsikan film ini sebagai kisah klasik tiga babak Hollywood (pembukaan alias pengenalan tokoh, persoalan, penyelesaian/penutup). Tapi, ramuan Hollywood bisa jadi tak klise ketika digodok dengan cita rasa Indonesia (adegan saling tunggu bus, rasanya hanya bisa muncul di film Indonesia yang masih memgang adat Timur).
Ini yang dilakukan Asrul dan Chaerul Umam. Film ini punya unsur-unsur sebuah komedi romantis Hollywood. Tengok saja, hubungan cinta-benci Ramadhan dan Ramona. Perhatikan saat mereka berpisah, tapi kemudian sadar kalau mereka rupanya masih saling cinta. Berpisah untuk bertemu kembali ini menjadi formula khas yang bisa ditemukan di setiap film romantis Hollywood yang biasa dibintangi Meg Ryan, Tom Hanks hingga Katherine Heigl.
Tentu, dengan cita rasa Indonesia saat Ramadhan dan Ramona berpelukan di tengah jalan, jadi tontonan orang, bikin macet, dan diteriaki supir-supir truk dan pick up.
Kejar daku/ kejar dakuu/ biar kau kutangkap….