Keluarga Tak Kasat Mata (2017)

110 min|Horror|23 Nov 2017
2.9Rating: 2.9 / 10 from 151 usersMetascore: N/A
This movie follows a young man who is telling a story about the company he used to work for in Yogyakarta. The story started when the company moved to a new building. He and his workmates started to experience inexplicable incidents.

Film bergenre horor ini konon diangkat dari sebuah kisah nyata, yang dipopulerkan melalui cerita bersambung di media sosial Kaskus, dan melalui novelnya yang juga berjudul Keluarga Tak Kasat Mata. Tak heran jika sewaktu premiere, film ini diserbu para penonton yang tak sabar menyaksikan kisahnya di layar lebar. Bahkan salah satu bioskop di Jogja, tiketnya terjual habis di hari pertama pemutarannya. Tak hanya itu, baru 5 hari rilis, film ini telah meraih sekitar 200 ribu penonton. Sang sutradara, Hedy Suryawan adalah debutnya mengarahkan film bergenre horor, walaupun pernah sesekali terlibat sebagai produser film horor berjudul KM 97 (2013).

Filmnya bercerita tentang sekelompok pemuda yang menempati kantor baru yang besar serta memiliki banyak ruangan. Konon bangunan ini telah lama ditinggal penghuninya. Pekerjaan kreatif, menuntut mereka untuk berurusan dengan deadline dan sering lembur di malam hari. Pada hari pertama menempati kantor, Genta (Deva Mahendra) dan rekan-rekannya mengalami banyak kejadian aneh yang membuat mereka takut. Rudi (Ganindra Bimo) yang bisa merasakan kehadiran makluk tak kasat mata itu, mencoba memperingatkan untuk tetap berhati-hati. Namun, gangguan demi gangguan semakin intens dan membuat mereka terintimidasi.

Cerita filmnya sebenarnya menarik. Dikemas dengan setting terbatas di kantor yang banyak menyimpan misteri. Namun, plot filmnya tampak sekali tidak digarap dengan baik. Banyak logika cerita dan plot yang janggal. Dimensi ruang dan waktu juga agak membingungkan. Kejanggalan terjadi di awal yang menunjukkan sebuah adegan dengan penanda waktu pukul 08.15, namun tak lama berselang, adegan telah berubah menjadi malam tanpa ada petunjuk waktu seperti transisi editing atau lainnya. Alur cerita yang kurang fokus membuat plotnya tidak jelas mengarah ke mana. Sesosok makhluk halus yang meminta tolong pada Genta tak jelas maksudnya. Sang paranormal pun tak menjelaskan mengapa sosok kasat mata itu meminta tolong. Tak ada solusi maupun pesan yang jelas dari semuanya.

Baca Juga  Surat dari Praha

Film ini semata hanya mencoba mengadaptasi mentah-mentah kejadian aslinya tanpa mengemas dengan cerita yang memiliki unsur ketegangan atau pun misteri yang kuat. Sang sineas hanya bermain-main pada kejutan-kejutan sosok makluk halus yang muncul di depan kamera dengan tujuan mengagetkan penonton semata. Konflik-konflik kecil diantara mereka yang berdebat, seperti deadline sebenarnya bisa mudah diselesaikan. Toh, jika mau mereka bisa pulang kapan saja. Konflik sebenarnya bisa dikembangkan untuk lebih membatasi ruang gerak mereka dalam bangunan itu.

Secara teknis film ini juga banyak kelemahan. Setting bangunan interior lawas memiliki banyak potensi, namun tak dimaksimalkan secara visual. Akting dari para pemainnya juga tidak membantu penonton untuk bisa masuk dalam situasi genting. Pengambilan gambar dan editing juga tak digarap dengan baik menjadikan filmnya terlihat amatiran. Efek visual yang digunakan juga terlihat kasar sehingga terlihat kurang realistik. Tak heran jika beberapa penonton justru tertawa ketika sosok hantunya muncul. Musik pop yang muncul di tengah suasana mistis kurang pas untuk mengiringi beberapa adegan. Ditengah serbuan para penonton film horor, film ini sebenarnya berpotensi untuk digarap lebih baik lagi dengan pendekatan lebih filmis dan estetis.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=oAK3YTNRpAM

Artikel SebelumnyaKiprah Sineas Perempuan yang Membanggakan di Tingkat Internasional
Artikel BerikutnyaPeach Girl
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.