Sang master sinema, Martin Scorsese kembali melalui Killers of the Flower Moon. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah durasi filmnya yang mencapai 206 menit. Rasanya ini adalah tontonan film terlama yang pernah saya tonton di bioskop. Scorsese kembali mengkasting dua kolaborator tetapnya, yakni Leonardo diCaprio dan Robert De Niro, dengan didukung para bintang, antara lain Lily Gladstone, Jesse Plemons, Tantoo Cardinal, John Lithgow, hingga Brendan Fraser. Adapun film berbujet USD 200 juta ini diadaptasi dari buku nonfiksi berjudul sama karya David Grann. Akankah Flower Moon bakal menjadi salah satu karya terbaik Scorsese, setelah lusinan masterpiece-nya?
Film berlatar tahun 1920-an di Osage County, Oklahoma, AS. Dikisahkan wilayah yang dikuasai oleh suku Indian Osage tersebut memiliki temuan kandungan minyak bumi yang melimpah. Alhasil warga asli Osage County menjadi milyuner mendadak. Di mana ada gula, ada semut. Para pendatang pun berdatangan dengan mulai mencoba mencari celah keuntungan dari profit yang melimpah, di antaranya adalah sosok William King Hale (De Niro). King seolah menjadi dewa penyelamat mereka serta mencoba mencari celah hukum melalui jalur perkawinan yakni dengan menggunakan para kroninya untuk menikahi para wanita Indian yang menjadi pewaris tanah di wilayah tersebut.
Satu pion pentingnya adalah Ernest Burkhart (DiCaprio) yang menikahi Molly (Gladstone), warga Indian asli yang bersama ibu dan saudara-saudarinya memiliki lahan luas di sana. Dalam perkembangan, setelah para kroninya beranak pinak, skema King kini semakin jauh dengan cara “halus”, yakni melenyapkan satu persatu para pewaris tanah tersebut sehingga hak kepemilikan berganti ke para kroninya. Peristiwa pembunuhan ini akhirnya menarik perhatian Washington sehingga mereka mengirim tim yang dipimpin oleh Tom White (Plemons).
Wow, Flower memang bukan tontonan yang mudah karena durasinya yang di luar kewajaran. Ini pun diperburuk dengan tempo plotnya yang lambat sehingga terus menggoda kita untuk terlelap. Jujur, Flower adalah satu tontonan melelahkan yang gayanya mirip dengan garapan Scorsese lainnya, Silence (2016) walau durasinya hanya 161 menit. Seringkali adegannya berlama-lama dengan segmen dialog yang panjang. Bisa dibayangkan betapa capeknya menonton dengan durasi sepanjang ini. Walau harus diakui, aspek lainnya mampu sedikit menjauhkan rasa bosan, seperti akting dan setting.
Kisahnya sendiri berjalan ringan dan gamblang dan tampak batas tegas antara hitam (evil) dan putih (good). Tak banyak intrik dan kelokan plot berarti. Plotnya seolah mengulangi banyak film-film crime-gangster garapan Scorsese dengan karakter tokoh dan aktor-aktor yang telah familiar. Entah, sudah berapa belas kali De Niro memerankan sosok antagonis tipikalnya sejak The Godfather Part 2 hingga The Untouchables. Sebaliknya, walau DiCaprio kini hanya berperan sebagai pion, namun tetap tidak mengurangi sedikitpun kualitas aktingnya yang istimewa. Satu lagi tercatat adalah Lily Gladstone bermain sebagai Molly yang nyaris sepanjang filmnya berperan sebagai sosok yang jauh dari sehat dengan ekspresi lelah dan keputusasaan mendominasi olah aktingnya.
Satu catatan lain adalah aspek setting yang disajikan luar biasa. Sudah lama sejak era CGI seperti sekarang, kita menjumpai sebuah film ber-setting kolosal yang dibuat sungguhan seperti ini. Suasana kota dengan ratusan warganya menjadi terlihat natural, plus mobil-mobil lawas yang berseliweran ke sana ke mari lengkap dengan stasiun kereta api. Satu teknik penyajian unik tampak pada penutup filmnya. Film biografi atau dokudrama sejenis, lazimnya menutup dengan epilog berupa teks, namun ini berupa sajian teatrikal dan sang sineas pun menjadi cameo di dalamnya. Memang ini agak terasa lepas dari tone film yang dibangun sejak awal. Bisa jadi, Scorsese hanya ingin menegaskan sejarah kelam AS yang tak boleh hilang.
Sebuah film tribute untuk suku Osage maupun sinema, Killers of the Flower Moon mengetes ketahanan penikmat film dengan durasinya serta tempo yang lambat, sekalipun penampilan para kasting utama serta setting menjadi poin lebih. Isu yang diusung memang besar bagi sejarah AS, namun penonton negara asalnya bisa jadi memahami kisahnya lebih baik dan dalam. Fakta bahwa ada warga Indian yang eksklusif dan hidup bergelimang harta, baru saya ketahui selepas menonton ini. Saya pun tidak begitu paham, apa yang bisa terjadi atau dampaknya setelah ini. Untuk sang sineas, rupanya umur (80 tahun) tidak mengurangi sentuhan emas sang sineas, walau tidak selevel karya-karya terbaiknya. Durasi yang kelewat panjang memang menganggu ketahanan dan kenyamanan fisik saya sewaktu menonton. Berbeda dengan film-film arahan James Cameron (Avatar 2: 192 menit) atau Chris Nolan (Oppenheimer: 180 menit) yang menyajikan visual yang membahana.