Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.

Kingdom of the Planet of the Apes adalah merupakan sekuel dari War for the Planet of The Apes (2017) yang memiliki kisah terpisah dari seri sebelumnya. Sineas terdahulu Matt Reeves, kini tidak lagi terlibat, setelah sukses dengan The Batman. Sekuelnya, kini digarap oleh Wes Ball yang juga menggarahkan seri sci-fi populer Trilogi The Maze Runner. Film ini dibintangi Owen Teague, Freya Allan, Kevin Durand, Peter Macon, dan William H. Macy. Akankah sekuelnya ini masih selevel dengan film-film sebelumnya yang berkualitas tinggi?

Beberapa generasi setelah era Caesar, dikisahkan satu suku kera memiliki ciri khas dengan burung elang peliharaannya. Noa (Teague) adalah seekor kera remaja pemberani yang esoknya akan menjalani ritual ikatan dengan telur burung elang yang ia dapatkan dengan susah payah. Malamnya, seorang manusia menyusup masuk, dan tanpa sengaja memecahkan telurnya, dan Noa pun berniat untuk mencari lagi sebelum ritual besok. Malangnya, di tengah jalan, satu suku kera asing menghanguskan kampungnya dan membawa sisa-sisa kera ke tempat asal mereka. Noa pun berniat mengejar mereka, namun di perjalanan ia bertemu dengan seekor urang utan pengikut aliran Caesar dan seorang gadis muda, Mae, yang rupanya diincar oleh suku kera yang menyekap keluarganya. Ketiganya pun melakukan perjalanan ke sana tanpa menyadari bahaya yang mengintai.

Kisahnya rupanya lepas dari trilogi sebelumnya, jadi boleh dibilang, sekuelnya ini adalah sebuah “soft reboot”. Satu-satunya relasi cerita hanyalah sosok Caesar yang dikisahkan kini hanyalah sesosok legenda (mitos) yang memimpikan ras kera dan manusia bisa hidup berdampingan. Ideologi ini rupanya ditafsirkan berbeda oleh sang raja, Proximo yang menginginkan dominasi dari ras manusia, bahkan kelompok kera lain. Menariknya, kisahnya membiaskan posisi ras manusia dalam situasi ini, dan Noa menjadi pegangan moral kita di kala segalanya menjadi rumit. Dari seri sebelumnya, kita tahu persis bagaimana Caesar bakal bersikap, namun dalam situasi sekarang segalanya menjadi berbeda. Siapa yang bisa kita percaya, manusia atau kera? Ini poin besar kisahnya.

Baca Juga  Pinocchio

Berbeda dengan seri sebelumnya yang penuh dengan aksi senjata api dan ledakan, kini segmen aksinya lebih primitif dengan mengingatkan pada seri klasiknya bahkan hingga Planet of the Apes arahan Tim Burton. Aksi kera menangkap dan mengejar manusia banyak mengingatkan pada film-film tersebut. Satu aksi berkuda ketika Noa mencoba menyelamatkan Mae disajikan begitu mengesankan. Segmen klimaks juga disajikan dengan begitu heboh dengan aksi-aksi pengejaran yang menegangkan. Pencapaian CGI jelas di atas rata-rata dengan pengadeganan (banjir) yang begitu meyakinkan. Entah, apa ada relasi antara nama sang tokoh (Noa = Noah) dengan air laut yang membanjir layaknya kisah biblikalnya? Bisa jadi.

Melalui pencapaian cerita dan estetiknya, Kingdom of the Planet of the Apes adalah salah satu film blockbuster paling manusiawi yang pernah ada dengan pesan humanis yang mengejutkan. Pengembangan plotnya memang sebuah twist cerita yang di luar dugaan. Kisahnya sungguh merefleksikan situasi dunia kita sekarang yang penuh intrik dan politik. Saking kacaunya hingga rupanya kita membutuhkan analogi ras kera untuk mejawab ini. Simpati kita tentu pada sang tokoh protagonis, dan pertanyaan besar adalah apakah ras manusia bisa dipercaya oleh kaum kera? Adegan penutup menjawabnya dengan dramatis. Tengok situasi global sekarang. Jangankan kaum kera, sesama kaumnya sendiri, umat manusia terbukti tak mampu berdamai.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
90 %
Artikel SebelumnyaArcadian
Artikel BerikutnyaIF
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.