Mengandung spoiler. Disarankan untuk menonton KKN di Desa Penari, Qodrat 2, dan Pabrik Gula sebelum membaca artikel ini.
Awi Suryadi pamornya makin melejit sejak sukses komersial Danur: I Can See Ghost (2017). Setelahnya, ia nyaris selalu memproduksi film horor hingga kini. KKN Di Desa Penari tercatat adalah filmnya yang paling sukses sekaligus menjadi film terlaris di Indonesia hingga detik artikel ini ditulis. Kini, Awi merilis film terbarunya, Pabrik Gula yang kembali diadaptasi dari cerita viral di medsos karya SimpleMan. Saya pernah membuat tulisan tentang seri Danur serta KKN di Desa Penari, sebagian tulisan juga ada di buku Film Horor Indonesia: Bangkit dari Kubur. Sukses film-film ini tidak sepenuhnya datang dari pencapaian cerita dan estetikanya, namun melalui sensasi serta popularitas sumber adaptasinya. Lantas apa yang kini ditawarkan Pabrik Gula? Saya sangat berharap kini tidak hanya sekadar sensasi.
Judul artikel ini saya buat karena kemiripan kisah Pabrik Gula dengan KKN di Desa Penari. Kebetulan sumber adaptasinya pun sama. Uniknya lagi, Pabrik Gula juga memiliki kesamaan lokasi cerita dengan Qodrat 2 yang rilis bersamaan, di mana keduanya menggunakan lokasi di pabrik tua. Keduanya pun sama-sama berurusan dengan iblis. Lantas seberapa besar kesamaan plotnya dengan Desa Penari? Tentu tidak mungkin sama 100%, namun inti kisahnya amat mirip.
Pabrik Gula hanya memindah lokasi cerita dari sebuah desa angker ke pabrik angker yang sama-sama berlokasi di Jawa Timur. Sekelompok muda-mudi datang ke sebuah lokasi asing yang memiliki sejarah kelam. Di sana, mereka tinggal di loji atau mess yang berlokasi di lingkungan pabrik, jauh dari keramaian. Sebagian dari mereka juga mengalami gangguan supernatural dari roh penunggu setempat. Beberapa lokasi pabrik juga terlarang untuk dimasuki hingga bahkan terdapat “jam malam” di atas pukul 9 malam.
Dikisahkan di lingkungan pabrik terdapat kerajaan setan di mana pihak pabrik secara berkala memberikan semacam “tumbal” sebagai bentuk kompromi. Jika ini dilanggar, maka semua orang yang ada di pabrik harus menerima konsekuensinya. Di antara mereka, rupanya ada yang melanggar dengan berbuat nista di lokasi terlarang. Bahkan mengambil barang berharga milik para lelembut. Satu ritual akhirnya dilakukan dan rupanya sang penguasa tidak mau bernegosiasi dengan mengambil nyawa para pendosa.
Bukankah semua terasa familiar? Pabrik gula hanyalah carbon copy dari KKN di Desa Penari dengan formula dan eksekusi cerita yang sama. Penulis naskah terlebih sang sineas, tentu sudah menyadari ini. Bagi saya, ini bukan pilihan cerita yang berkelas, terlepas sumbernya diinspirasi atau sungguh-sungguh terjadi. Ini semata hanyalah sebuah usaha menciptakan sensasi untuk mengulang sukses KKN di Desa Penari. Setidaknya dari berita terkini, cara ini rupanya masih efektif. Kabarnya dalam dua hari penayangan saja, Pabrik Gula sudah meraih 500 ribu penonton.
Satu hal yang membedakan Pabrik Gula dengan KKN adalah setnya yang kini tampak lebih eksotis. Penggunaan shot on location di lokasi pabrik sungguhan, jelas menjadi production value yang sangat tinggi. Berbeda dengan Qodrat 2, Pabrik Gula memperlihatkan areal pabrik yang sangat luas dengan segala properti hingga gudang-gudang yang berukuran besar. Bahkan lingkungan perumahan Belanda yang digunakan sebagai loji/mess pekerja juga tervisualisasi dengan baik, sekalipun terlihat tidak terawat. Walau ini terasa janggal, para pekerja bisa tinggal dalam kompleks perumahan yang terhitung mewah dan besar. Bahkan satu buruh mendapat satu kamar yang berukuran luas layaknya kamar hotel. Berbeda dengan Qodrat 2 di mana para pekerja tinggal di ruangan (barak) dengan belasan ranjang yang berjejer.
Hanya sayangnya, lokasi areal pabrik gula ini lebih terlihat sebagai bangunan-bangunan besar yang terbengkalai dan tidak lagi berfungsi. Area pemukiman Belanda pun juga sama. Mungkin kesan ini akan hilang jika bangunan-bangunan tersebut terlihat bersih, atau setidaknya dicat, toh ini tidak akan mengurangi atmosfir horornya. Sebagai perbandingan, kesan ini sama sekali tidak tampak dalam Qodrat 2. Walau sama-sama berlokasi di pabrik tua, namun terlihat sekali jika masih difungsikan. Ya, ini bisa ditolerir mengingat pabrik gula menggunakan buruh musiman yang aktif ketika masa panen dan giling.
Bicara horor tentu tidak lepas dari jump scare yang mendominasi nyaris seluruh pengadeganan Pabrik Gula. Sejak hari pertama di Pabrik, seketika itu pula gangguan muncul. Bahkan di malam hari, kita sudah di ajak berkeliling pabrik mengikuti sosok Endah menyusuri ruangan demi ruangan dengan selipan beberapa jump scare. Kebanyakan jump scare-nya dibangun perlahan seperti gaya sineas yang telah banyak kita lihat sebelumnya. Ingat adegan mandi di KKN Desa Penari? Pengadeganan horor bertempo lambat untuk membangun jump scare macam ini sering sekali digunakan di sini. Banyak di antaranya sudah bukan lagi baru, hanya wujud sosok seramnya yang berbeda. Beberapa trik horor barat populer juga tampak digunakan, seperti Smile (wajah tersenyum) dan Get Out (berlari mendadak ke arah protagonis).
Di sini, saya tidak memasalahkan bentuk dan variasi jump scare-nya, namun motifnya. Beberapa sosok seram terasa lepas dalam banyak momen. Sesosok perempuan muda Belanda tanpa kepala (mirip setan dalam film horor Ivanna), muncul dalam satu jump scare-nya. Sesosok iblis “powerful” raksasa bertanduk juga muncul sejak awal. Ada pula sosok “maharatu” pemilik perhiasan emas yang disebut Mbah Jinah. Sosok setan yang in-charge sesungguhnya siapa? Apakah istilah “kerajaan” lantas bermakna semua jenis demit (barat dan lokal) bisa ada semua di sini? Sesuatu ada yang hilang dan tidak terjelaskan, kecuali hantu para korban kebakaran yang disinggung dalam satu adegan.
Ini terhitung belum logika penceritaan yang abai dan sering terlihat di film-film horor kita. Saya sudah malas sebenarnya menyinggung hal-hal konyol semacam ini. Beberapa di antaranya sudah disinggung di atas. Mirip dengan kasus KKN di Desa Penari, di mana karakternya begitu hebat mampu bertahan secara psikologis dengan gangguan mistik, seperti Endah yang bertubi-tubi melihat penampakan. Orang normal dan waras pasti segera cabut dari sana, apa pun alasannya. Beda kasusnya jika mereka terjebak dalam ruang terbatas yang tidak bisa keluar dari sana. Pabrik seluas itu, hanya ada dua orang satpam yang berjaga serta minim sekali karyawan administrasi. Dalam satu adegan, buku pembukuan harus di antar ke tempat lain, mau di antar ke mana jika terlihat lokasinya hanya itu-itu saja? Apakah kalian ada yang bertanya, orang-orang yang membantu proses ritual tumbal di penghujung segmen, dari mana asalnya? Ini bukan sembarang aktivitas layaknya memanen tebu. Hal-hal sepele macam ini tidak bisa diabaikan begitu saja, harus ada motif dan penjelasan yang cukup.
Pabrik Gula seperti kebanyakan film horor lokal kita, tidak memiliki masalah dari sisi pencapaian visual. Horor-horor kita secara teknis sudah selevel dengan film-film barat yang berbujet produksi lebih besar. Bahkan secara visual kita lebih kaya dalam penggunaan shot on location, belum lagi keragaman tradisi dan cerita horor yang jumlahnya tak terhitung. Film-film horor bernuansa lokal seperti Pabrik Gula memiliki potensi besar untuk bersaing jika naskahnya digarap lebih hati-hati. Faktanya, hype dan sensasi masih menjadi tren produksi film horor hingga kini. Bahkan Pabrik Gula: Uncut juga dirilis bersamaan. Untuk apa, merilis versi yang hanya selisih secuil menit yang berisikan adegan dewasa yang tidak berarti banyak bagi kisahnya secara keseluruhan. Untuk liburan lebaran kali ini, dua film horor unggulan, Qodrat 2 dan Pabrik Gula, sama-sama mengecewakan dari sisi penceritaan.