Kong: Skull Island (2017)

118 min|Action, Adventure, Fantasy|10 Mar 2017
6.7Rating: 6.7 / 10 from 355,735 usersMetascore: 62
After the Vietnam war, a team of scientists explores an uncharted island in the Pacific, venturing into the domain of the mighty Kong and must fight to escape a primal Eden.

Kong: Skull Island merupakan film kedua dari dunia monster, MonsterVerse yang merupakan proyek besar Legendary Entertaintment bersama studio Jepang, Toho. Setelah Godzilla (2014) arahan Gareth Edwards dengan pencapaian superiornya, harapan besar kini tertumpu pada Kong untuk unjuk gigi. Kong diarahkan oleh Jordan Vogt-Roberts dengan sederetan bintang ternama seperti Tom Hiddleston, Samuel L. Jackson, Brie Larson, serta John Goodman.

Tahun 1973, pemerintah AS tengah sibuk menarik pasukannya dari Vietnam namun sebuah misi rahasia dilakukan ke sebuah pulau misterius bernama Kepulauan Skull. Sekelompok tim khusus dikawal oleh pasukan militer yang dipimpin oleh Letkol Preston Packard menuju ke daerah tak tersentuh tersebut. Sesampainya disana tak disangka-sangka mereka dihadang oleh satu sosok raksasa yang menghabisi nyaris seluruh tim.

Untuk film berbujet nyaris US$ 200 juta sangat mengherankan jika pencapaian film ini begitu buruk. Naskah yang menjadi pondasi utama filmnya adalah nol besar. Sineas layaknya seorang amatiran yang tidak mengerti bagaimana mengolah intensitas dramatik adegan demi adegan. Kemunculan sosok Kong sebagai raksasa yang begitu besar tidak mampu disajikan dengan kuat tanpa gigitan berarti. Bandingkan misalnya dengan kemunculan King Kong versi Peter Jackson atau T-Rex dalam Jurassic Park. Adegan demi adegan mengalir datar dan memaksa akibat plotnya yang tak masuk akal. Coba pikir, ketika Anda bertemu dengan raksasa seperti Kong, apa yang Anda lakukan? Kita tidak punya kesempatan sama sekali dan hanya bisa lari bukan melawannya. Latar militer Letkol Preston bukan berarti dia bisa bertindak tanpa otak tanpa menggunakan strategi! Memaksa dan konyol sekali.

Baca Juga  Total Recall

Amat sangat disayangkan sederetan pemain bertalenta tinggi macam Jackson, Hiddleston, bahkan Brie Larson hanya berlari-lari sepanjang film tanpa melakukan sesuatu yang berarti bagi peran mereka. Jakson boleh jadi mendapat peran sedikit “emosional” namun terhitung konyol untuk konteks cerita filmnya. Hiddleston entah mengapa perannya tidak lepas dari sosok perannya dalam serial The Night Manager. Hal lain yang juga konyol adalah penggunaan dialog yang sama sekali tidak menggambarkan sebuah film berkelas hampir di semua adegannya. Datar sekali. Mungkin ini yang membuat para pemain tidak bermain maksimal. Bahkan hanya sisipan komedi pun sama sekali hambar. Tidak menggigit sama sekali dari aspek manapun bahkan pencapaian aksi CGI-nya.

Kong: Skull Island adalah sebuah petualangan melelahkan dengan naskah yang amat buruk, aksi CGI medioker, serta membuang percuma talenta sederetan pemain berkualitas. Kong bisa jadi adalah pencapaian film berbujet besar terburuk yang pernah ada. James (Hiddleston) sempat berkata pada Mason (Larson) pada suatu momen. “Tell me it’s a bad idea?”, Mason menjawab ringan, ”It’s a bad idea”. Kong, it’s really a bad idea, untuk merintis sebuah universe. Membandingkan Godzilla milik Edwards dengan Kong adalah sama persis dengan membandingkan kekuatan fisik Kong dengan otak Letkol Preston Packard.
WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaInterchange
Artikel BerikutnyaThe Salesman
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.