Setelah absen selama 2 tahun, Riri Riza dan Mira Lesmana akhirnya kembali merilis film terbarunya, Kulari Ke Pantai, bergenre drama-perjalanan bertema anak-anak. Konon, film ini adalah yang tercepat sang sineas pernah garap. Setelah sepekan pemutarannya, film ini telah meraih sekitar 138.250 penonton. Riri memang kita kenal sering memproduksi film bertema anak-anak, seperti Petualangan Sherina (1999), Laskar Pelangi (2008), dan Sokola Rimba (2013). Ia juga pernah memproduksi film perjalanan berjudul 3 Hari Untuk Selamanya (2006) yang dipadu genre roman. Kali ini, ia menggunakan aktris cilik pendatang baru sebagai tokoh utamanya,yakni Maisha Kanna dan Lil’li Latisha.
Film ini bercerita tentang gadis kecil berumur 10 tahun bernama Sam (Maisha Kanna) yang tinggal di sebuah pulau terluar wilayah Indonesia yakni, Pulau Rote, NTT. Ibunya bernama Uci (Marsha Timothy) dan ayahnya Irfan (Ibnu Jamil). Uci sebagai warga Jakarta yang kaya raya, hijrah mengikuti suaminya yang asli warga Rote dan hidup sederhana di sana, meninggalkan hiruk pikuk ibukota. Suatu saat, mereka menghadiri acara ulang tahun nenek Sam di Jakarta. Sepulang dari Jakarta, Sam berkeinginan untuk melakukan perjalanan berdua bersama ibunya saja, berkendara menggunakan mobil dari Jakarta ke Banyuwangi untuk bertemu peselancar idolanya, Kailani Johnson di Pantai impiannya G-Land.
Plot dan konfliknya sederhana. Sam telah lama tak bertemu sepupunya, Happy (Lil’li Latisha). Happy yang juga sebaya dengan Sam memiliki hidup yang glamor dan kekinian, kontras dengan Sam yang terbiasa hidup sederhana sebagai anak pantai dan pandai ber-surfing. Pertemuannya di Jakarta tak berjalan mulus. Happy selalu sibuk dengan dirinya dan teman-temannya. Untuk mendekatkan Sam dan Happy, mama Happy memiliki ide jika Happy ikut trip ke Banyuwangi bersama Uci dan Sam. Walaupun berat, Sam yang tak respect dengan sikap Happy akhirnya mengiyakan. Begitu pun dengan Happy, ia terpaksa ikut perjalanan itu, untuk mendapatkan tiket konser bersama teman-temanya.
Suasana di dalam mobil menjadi canggung dengan kehadiran Happy. Namun, inilah sebenarnya yang menjadi poin cerita. Sang sineas menggunakan konflik antara dua anak ini menjadi motif cerita. Sepanjang film, kita melihat bagaimana chemistry antar keduanya dibangun sedikit demi sedikit, setiap kali mereka singgah di beberapa tempat. Persinggahan di Rumah Bambu, Temanggung menjadi momen pembuka kedekatan mereka. Namun, sayangnya di beberapa persinggahan berikutnya, momennya kurang diolah sehingga dipertengahan cerita agak sedikit boring. Kadang eksplorasi keindahan alam, tak seindah adegannya. Konflik kecil antara Uci dan kakaknya juga menjadi sedikit pemanis. Formula konfliknya mirip dengan konflik antara Sherina dan Sadam di film Petualangan Sherina(1999), namun kini sang sineas mencoba mengemasnya dengan genre perjalanan.
Film perjalanan, lazimnya memiliki tujuan pokok di akhir perjalanan, atau bisa pula perjalanannya sendiri yang menjadi tujuan. Namun, ada beberapa hal yang tampak janggal selama proses perjalanannya. Uci sebagai driver, terkesan mengetahui semua lokasi yang dikunjunginya dengan mudah, seperti saat ia menemukan sebuah tempat di pelosok desa padahal sebelumnya ia belum pernah ke sana. Untuk membuat masuk akal, setidaknya terdapat sepotong dialog untuk memastikan kebenaran lokasi, namun tak ada adegan yang menunjukkan hal itu. Jika pun memakai GPS, tak ada adegan yang menunjukkan hal itu pula. Palang penunjuk jalan pun sangat minim pula ditunjukkan.
Aspek teknis yang sangat mencuri perhatian adalah akting dua bintang cilik Maisha Kanna dan Lil’li Latisha yang bermain sangat apik dan alami. Marsha Timothy sendiri, yang terakhir bermain serius dalam Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak, kali ini ia memerankan sosok ibu yang sabar, ceria, dan bijak. Film ini juga didukung dengan alunan musik dan lagu yang ringan dan mendukung tone filmnya. Untuk setting outdoor pun tak diragukan karena memiliki pesona keindahan alam yang memukau.
Film ini sangat ringan dan menghibur, serta memiliki nilai kekeluargaan (family value) yang kuat. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun cocok untuk menonton film ini. Sayang sekali, film ini tak tayang semasa Lebaran, yang justru menampilkan film-film yang kurang berkualitas. Terlepas dari sisi lemahnya, kita patut mengapresiasi tema yang bercerita tentang anak-anak macam ini, mengingat jarangnya film bertema serupa serta memiliki nilai. Terlebih kini, di tengah gempuran film horor dan roman remaja yang mendominasi sinema nasional.
WATCH TRAILER