Kung Fu Panda 4, siapa mengira sekuelnya masih berlanjut? Setelah seri televisinya diproduksi demikian masif hingga akhir tahun lalu. Sekuel ketiganya ini digarap oleh Mike Mitchell dengan masih dibintangi Jack Black sebagai Po, sang ksatria naga. Seperti sebelumnya, pengisi suara pendukungnya juga kali ini istimewa dengan sederetan nama besar, yakni Awkwafina, James Hong, Bryan Cranston, Viola Davis, Ke Huy Quan, Dustin Hoffman, dan Ian McShane. Apakah seri barunya ini mampu mengikuti tren sebelumnya, baik kualitas maupun sukses box-office-nya?

Po (Black) hidup tentram sebagai sang dragon warrior pelindung warga dari para penindas. Atas desakan mentornya, Shifu (Hoffman), Po dipaksa untuk mencari penerus. Sementara ia sendiri kelak diangkat menjadi pemimpin spiritual. Di lain tempat, si macan jahat, Tai Lung (McShane), antagonis seri pertama, dikabarkan telah kembali, dan Po pun segera mengusutnya. Seekor rubah pencuri, Zhen (Awkwafina) mengaku mengetahui dalang di balik peristiwa ini, yakni sosok penyihir bernama The Chameleon (Davis), yang mampu berubah wujud menjadi siapa pun. Po dan Zheng pergi ke kota besar di seberang sana untuk mencari sang bunglon.

Film-film sekuelnya, memang tidak lagi sekelas film originalnya (2008), tidak terkecuali seri keempatnya ini. Namun sedikit agak berbeda, karena adanya pengulangan plot tentang pencarian sang ksatria naga, tapi kali ini melalui perspektif Po. Tak butuh lama menunggu, penonton sudah langsung diberi petunjuk siapa sosok penerusnya. Zhen berbeda karakter dengan Po yang polos, chemistry mereka yang menjadikan kisahnya menarik. Po pun sebagai calon pemimpin spiritual seringkali mengobral “kata-kata bijak” konyol yang merupakan sisi humor terbaik filmnya. Saya sering tertawa geli sendirian mendengar celotehan bijak Po. Sementara penonton yang didominasi bocil-bocil, gelak tawa mereka meramaikan bioskop melalui aksi dan polah konyol Po. Aksi-aksinya yang memancing humor memang tak kalah berkelas.

Baca Juga  House of Darkness

Kung Fu Panda 4, berada di luar rutinitas plot tipikal sekuelnya dengan menampilkan sisi aksi-humor untuk segala usia, serta “kebijakan” ala Po. Untuk capaian visualnya rasanya tak perlu lagi komentar banyak, sangat menawan dan penuh warna. Pengisi suara kasting pendukungnya juga sering kali mencuri perhatian, baik sang armadilo yang diisi Huy Quan, sang bunglon oleh Davis, serta tentu saja Tai Lung, Ian McShane dengan suara berat khasnya. Mereka mampu membuat seri keempat ini terasa lebih membekas ketimbang sebelumnya. Kung Fu Panda 4 adalah tontonan sempurna bagi segala usia dan riuh tawa penonton di bioskop sudah cukup menjawabnya. Satu hal mengejutkan di ujung credit, siapa sangka satu nomor yang dipopulerkan Britney Spears (dilantunkan Jack Black sendiri) lebih dari 20 tahun lalu, liriknya begitu pas dengan tema cerita film ini. Lagu ini masih terngiang-ngiang di kuping saya, beberapa lama setelah selesai menonton.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaSpaceman
Artikel BerikutnyaExhuma
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.