La La Land (2016)

128 min|Comedy, Drama, Music|25 Dec 2016
8.0Rating: 8.0 / 10 from 690,294 usersMetascore: 94
While navigating their careers in Los Angeles, a pianist and an actress fall in love while attempting to reconcile their aspirations for the future.

La La Land adalah film musikal roman komedi yang digarap dan ditulis sendiri naskahnya oleh Damien Chazelle yang dua tahun lalu sukses besar dengan Whiplash. Film ini dibintangi Ryan Gosling dan Emma Stone dimana mereka berdua melakukan sendiri semua adegan menari dan menyanyi. La La Land digadangkan sebagai salah satu calon terkuat peraih Oscar tahun ini dan telah sukses meraih ratusan penghargaan di puluhan festival film bergengsi di dunia.

Alkisah Mia adalah seorang gadis muda yang bekerja sambilan di sebuah kedai kopi di lingkungan studio Warner Bros dan bermimpi menjadi seorang bintang film. Puluhan audisi telah ia coba namun selalu gagal sekali pun ia sebenarnya memiliki bakat akting. Sementara Sebastian adalah pianis berbakat yang karirnya tidak menentu. Suatu ketika mereka bertemu dan memiliki kecocokan satu sama lain hingga mereka saling jatuh hati. Keduanya lalu saling mendukung untuk sama-sama bisa menggapai impian mereka.

Nuansa klasik sudah terasa sejak opening logo dan memang ruh film ini adalah film musikal klasik. Film dibuka dengan amat mengesankan melalui satu segmen musikal cantik di atas jembatan layang di tengah kemacetan lalu lintas di seputar areal Hollywood. Kisahnya seperti lazimnya film musikal klasik bertutur tentang impian dan cita-cita namun bedanya sang sineas memasukkan sisi realita kehidupan sehingga sentuhan manusiawinya sangat terasa. Mia dan Sebastian memiliki talenta berbeda dan sikap yang saling berseberangan namun mereka berusaha untuk saling mendukung sekalipun terkadang jalan bisa berbeda. Lika-liku kehidupan mereka disajikan menarik melalui pembabakan musim. Segmen penutup disajikan menyentuh dengan montage yang amat menawan menggambarkan inti kisah filmnya dengan baik.

Baca Juga  Gringo

Tidak seperti Whiplash yang sangat menonjol dari aspek editing kini aspek sinematografi yang menjadi tumpuan. Sejak adegan pembuka gelagat ini sudah tampak dengan pergerakan kamera yang sangat agresif dan dinamis, serta penggunaan teknik long take. Kombinasi setting, koreografi pemain, serta sisi sinematografi (pergerakan kamera dan long take) berpadu dengan amat baik dalam semua segmen musikalnya. Satu segmen musikal disajikan sangat manis di sebuah jalan di wilayah perbukitan Hollwood yang sudah jarang sekali kita lihat dalam film. Satu teknik lagi yang juga jarang terlihat adalah penggunaan tata cahaya yang diatur sedemikian rupa hingga terfokus hanya pada sang tokoh seolah dunia hanya milik mereka sendiri.

Pencapaian teknis yang demikian istimewa tidak akan ada artinya tanpa penampian menawan dari Ryan Gosling dan Emma Stone. Keduanya adalah ruh film ini. Siapa sangka kedua aktor dan aktris top ini bisa menari dan bernyanyi layaknya duo ikon musikal klasik, Fred Astaire dan Ginger Roberts. Gosling kita sudah sama-sama tahu kemampuan aktingnya dan rasanya ini bukan kemampuan terbaiknya diluar penampilan musikalnya. Namun Stone bisa jadi ini adalah penampilan terbaiknya sepanjang karirnya sehingga diganjar Piala Oscar pun rasanya pantas.

Dengan penampilan mengesankan dari Emma Stone dan Ryan Gosling, La La Land adalah sebuah capaian langka yang merupakan kombinasi film musikal klasik dengan sentuhan sinematik khas Damien Chazelle. Seperti halnya Whiplash, sang sineas memasukkan passion dan sikapnya terhadap musik Jazz ke dalam kisahnya dengan sangat pas. Kubu tradisional dan modern memiliki dua sikap yang berbeda namun keduanya dibutuhkan sehingga semuanya bisa berjalan harmonis. Semuanya disajikan manis dalam La La Land. Piala Oscar film terbaik tahun ini sepertinya sudah ditangan.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaArrival
Artikel BerikutnyaPromise
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Sesuai dengan tagline dalam poster film ini, “Here’s to the fools who dream” film ini mengingatkan saya terhadap mimpi, terhadap passion, terhadap cinta, terhadap indahnya dunia yang akhir-akhir ini sepertinya hilang (well at least menurut pandangan saya). Sebuah pencapaian sinematik yang manis, dan sedikit liar, yang menurut saya merupakan buah dari sebuah passion dan kecintaan yang kuat terhadap film dari sutrada Damien Chazella.

    Sepanjang film saya terhipnotis oleh ke keindahan permainan cahaya, set dan warna yang sangat menyenangkan untuk diikuti, dengan set sudut-sudut Los Angeles yang sederhana, dan lagu-lagu Jazz yang manis. Tidak begitu suka dengan ending yang diluar harapan, but thats life. And if i had to choose, i will chose that life! Dream on!

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.