Lady Bird (2017)

94 min|Comedy, Drama|01 Dec 2017
7.4Rating: 7.4 / 10 from 340,033 usersMetascore: 93
A fiercely independent teenager tries to make her own way in the world while wanting to get out of her hometown of Sacramento, California and to get away from her complicated mother and recently-unemployed father.

Sang sineas, Greta Gerwig, yang selama ini lebih kita kenal sebagai aktris, menganggap Lady Bird sebagai semiotobiografi dirinya ketika ia masih remaja. Walau akunya lagi, semua kejadian di film ini, tidak benar-benar terjadi dalam hidupnya. Gerwig sendiri menulis naskahnya, dan terasa sekali betapa personal dialog dalam filmnya, yang kadang disisipi sikapnya terhadap apa saja yang ia suka dan tidak suka, entah politik, pergaulan sosial, bahkan hingga kehidupan pribadinya. Dominasi penggunaan dialog yang membuat film ini begitu segar hingga film yang berdurasi hanya 93 menit ini terasa begitu panjang dan menyenangkan. Sejauh ini, Lady Bird telah meraih puluhan penghargaan dari berbagai ajang festival film bergengsi termasuk film terbaik kategori komedi di Golden Globes beberapa bulan lalu. Film ini rasanya juga punya peluang besar dalam Academy Awards yang berlangsung minggu depan, dinominasikan untuk film terbaik, sutradara terbaik, naskah asli terbaik, serta aktris utama dan pendukung terbaik.

Film berkisah tentang Christine atau dipanggil Lady Bird, seorang gadis remaja SMU yang ingin kuliah di kota besar, kontras dengan tempat ia tinggal sekarang yaitu Sacramento. Hubungan dengan sang ibu yang seorang perawat, seringkali tak akur karena sang ibu ia anggap selalu memaksakan keinginannya, berbalik dengan ayahnya yang selalu sabar. Keluarganya bukan orang berada. Ayahnya baru saja kehilangan pekerjaan, dan sang ibu harus bekerja dua shift untuk mencukup kebutuhan mereka. Inti kisahnya adalah tentang suka dan duka Christine menjalani masa-masa menjelang dewasa di SMU, tentang persahabatan, cinta, cita-cita dan masa depan, serta yang menjadi sentral adalah hubungan dengan sang ibu. Kisahnya memang terlalu familiar untuk genrenya, namun hal-hal bersifat personal menjadi pembeda.

Baca Juga  Scoob!

Alu kisah berjalan ringan dan mengalir cepat, serta sepanjang film didominasi teknik montage. Adegan-adegan beralih singkat, dan seringkali diiringi nomor-nomor (lagu) lokal yang melantun dengan manis. Walau terasa cepat, namun shot demi shot, mengandung isi dan makna sehingga film terasa padat dan efektif. Rasanya faktor ini yang membuat kita betah dengan kemasan visualnya.

Kekuatan film separuhnya ada pada kekuatan kastingnya, khususnya Saoirse Ronan (Christine) dan Laurie Metcalf (Marion) sebagai sang ibu. Chemistry keduanyalah yang menjadi jiwa filmnya. Sejak pembuka film yang berakhir mengejutkan, keduanya sudah mencuri perhatian kita. Ketika mereka berbelanja baju untuk acara malam perpisahan, sekali pun mereka beradu mulut di ruang yang berbeda (Christine di ruang ganti pakaian), namun chemistry keduanya masih terasa amat kuat. Sang putri selalu merasa benar, dan sang ibu yang hanya ingin putrinya bahagia, selalu berujung dengan salah komunikasi. Suatu ketika, Christine bertengkar hebat dengan sang ibu, ia berujar sengit, “Coba sebut berapa aku harus membayar hutangmu (sejak bayi), nanti jika aku sudah dewasa, aku akan membayar semua hutangmu sehingga aku tidak perlu berbicara denganmu lagi!”. Dialog-dialognya begitu kasar dan menggigit, Ronan dan Metcalf bermain amat mengesankan sepanjang film.

Personal dan menyentuh, Lady Bird didukung penampilan kuat sederetan kastingnya, walau rasanya bisa lebih dalam dinikmati oleh kaum hawa serta mereka yang (pernah) tinggal di kota kecil. Ini yang menjadi masalah filmnya, setidaknya saya. Filmnya terlalu personal dan sulit untuk bisa masuk secara emosional lebih jauh, kecuali hanya bersimpati dengan dua karakter ini. Penonton remaja putri atau seorang ibu dari gadis remaja seusia Lady Bird rasanya bakal lebih paham. Pasti berat memiliki remaja putri seperti Christine, gadis beranjak 18 tahun yang penuh ambisi, impian dan cita-cita setinggi langit, selalu ingin bebas, dan bertindak tanpa sesuatu yang mengikat. Hei, inilah kehidupan, biarkan ia berproses, dan pada akhirnya ia akan mengetahui apa yang sebenarnya ia rindukan selama ini ada di dekatnya sejak ia bayi. Saya prediksi dua Piala Oscar untuk film ini.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaFenomena “Blackanda”
Artikel BerikutnyaRed Sparrow
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.