Lady Chatterley’s Lover adalah film tahun 2022 yang dirilis di platform streaming Netflix. Ditulis oleh David Magee berdasarkan novel berjudul sama karya D. H. Lawrence—dan disutradarai oleh Laure de Clermont-Tonnere. Film ini diperankan oleh Emma Corrin, Jack O’Connel, Joely Richardson, dan Matthew Duckett. Jauh sebelum ini, pada tahun 2006, Pascale Ferran juga pernah membuat film yang sama—namun dengan judul yang sedikit berbeda, yakni Lady Chatterley’s—tanpa ada kata lover. Tetapi dari garis besar cerita, keduanya dari hulu yang sama. Lalu bagaimana versi terbaru ini? Kita simak.
Pernikahan tak selamanya berwarna, dan bisa dipertahankan dengan baik-baik saja. Itulah yang dirasakan Connie. Setelah pernikahannya berlangsung, suaminya Clifford pergi meninggalkannya untuk memenuhi panggilan kewajiban perang. Padahal kemistri di antara keduanya belum terikat dengan kuat satu sama lain. Penantian dan harapan membangun kehidupan yang harmonis ternyata sulit terwujud. Clifford, pulang bukan dengan membawa bunga—melainkan membawa luka. Kelumpuhan Clifford pasca perang mendudukkan Connie pada kegalauan dirinya—melahirkan sebuah ambivalensi. Connie terjebak antara meninggalkan atau mempertahankan.
Bagi Connie, meninggalkan menjadi alasan yang logis karena keduanya takkan bisa mewujudkan cita-citanya memiliki seorang bayi—kendati ‘meninggalkan’ tak pernah terlintas dalam pikirannya. Tapi mempertahankan juga menjadi keputusan yang keberterimaan pada masa itu—menjaga nama baik sebab terlahir dari kalangan bangsawan adalah tindakan yang wajib. Namun Clifford tak kunjung memahami keterkungkungan istrinya. Ia malah melahirkan ide yang liar—meminta Connie melahirkan anak untuknya—entah dari siapa Connie hamil. Keinginan tersebut, dan segala situasinya, membawa Connie pada pertemuan-pertemuannya dengan Oliver Mellors, sang penjaga hutan yang bekerja untuk keluarga Clifford. Seketika fokus cerita pun berubah pada pembentukan relasi antara Connie dan Mellors.
Film ini unik juga meyakinkan. Meski cuman berhenti pada batas menghibur—atau anasir-anasir yang tak jauh dari itu—Lady Chatterley’s Lover lebih memiliki perhatian pada perjalanan kisah cinta dua karakter ketimbang Persuasion. Laure de Clermont, sang sutradara melengkapi desain countryside yang lumayan mengesankan—sebuah upaya menghindar dari klise. Ketertarikan tidak dihadirkan dengan curi-curi pandang seperti Pride and Prejudice—atau keterpaksaan memupuk rasa sakit layaknya Atonement. Laure de Clermont memanfaatkan unsur sensualitas untuk menjadi titik perhatian kita dalam mengenal ikatan antara kedua karakter yang mabuk cinta. Oleh sebab itu ciuman dan sentuhan bertaburan dan akan banyak kita dapati. Tapi itu bukan semata menambah daya hibur saja—itu termasuk perkembangan cerita yang memang tak bisa dihindari. Persetuban di sebuah gubuk dan hutan adalah pemandangan yang disuguhkan untuk kita mengetahui tumbuh-kembang perasaan tokoh di dalamnya.
Di samping birahi yang galak, resolusi yang terang dan tak banyak mengambil teknik yang macam-macam—menempatkan film ini pada batas yang cukup, dan tidak terkesan memaksa untuk menjadi film yang lebih. Ini baiknya—tak hanya mengetahui di mana memulai, tapi juga di mana berhenti. Dan dua jempol untuk Emma Corrin yang cantik—yang berperan sebagai Connie. Begitu totalitas—juga mencuri kefokusan kita nantinya. Dualitas sifat karakter berhasil dimainkan dengan baik oleh Emma Corrin. Keanggunan sebagai seorang lady (yang barangkali dipupuknya semasa The Crown) serta wanita yang haus akan kasih sayang dan kepuasan bilogis—dilumatnya tanpa sisa. Lady Cahtterley’s Lover, film yang memang tak banyak menawarkan isu (mungkin reposisi gender yang tampak sedikit). Tapi kisahnya lumayan menggemaskan untuk dibuntuti.