Sesudah menyelesaikan seri Yowis Ben, Bayu Skak kembali dengan film arahan terbarunya, Lara Ati. Para penulis skenario film ini adalah dua perempuan debutan, Anissa Pandan Sari dan Aisyah Ica Nurramadhani. Film komedi romantis produksi Base Entertainment, Skak Studios, serta SK Global ini diperani antara lain oleh Bayu Skak, Tatjana Saphira, Sahila Hisyam, Keisya Levronka, Benidictus Siregar, Cak Kartolo, dan Ning Tini. Apa lagi yang diusung Bayu Skak dengan para penulisnya kini?

Patah hati ditinggal tunangan adalah musibah terbesar bagi seorang Joko (Bayu Skak). Pemuda karyawan bank yang sebetulnya memendam mimpinya untuk menjadi seorang desainer. Namun, keberadaan teman-teman dekatnya membawanya berjumpa dengan Ayu (Tatjana Saphira). Seorang yang juga tengah mengalami kegalauan asmara. Pertemuan mereka lantas melahirkan rutinitas baru yang membahagiakan keduanya. Meski, butuh waktu bagi masing-masing untuk menyadari ada yang berbeda di antara mereka.

Lara Ati menggugah tawa dengan cara dan senjatanya. Dengan menampilkan lokalitas Jawa Timur-an, khususnya Surabaya, sang sineas berseloroh di sepanjang film memakai berbagai hal yang dimiliki seorang warga Jawa Timur. Lawakan, interaksi antarpersonal, bahasa, dialek, sapaan, hingga bentuk-bentuk ekspresi emosinya. Bagi warga Jawa Timur, ini akan terasa seperti melihat keseharian. Bagi orang dari daerah Jawa Timur yang tengah dalam perantauan, ini akan menjadi semacam momen nostalgia. Namun, boleh jadi untuk penonton yang tak mengenal Bahasa Jawa akan menjumpai kesulitan dalam menerima lawakan-lawakan Lara Ati.

Meski dengan kelucuan yang ramah warga Jawa Timur-an, Lara Ati pada dasarnya memiliki cerita yang standar. Ketika seorang lelaki patah hati, bertemu dengan perempuan lain pada saat-saat yang tepat sambil mengejar keinginan terpendamnya. Pembabakan dalam penulisan skenarionya amat kentara. Walhasil, ada cukup banyak bagian yang mudah tertebak. Kritik keras untuk kedua penulis Lara Ati, begitu pula sutradaranya. Apa yang membuat film ini spesial pada akhirnya hanyalah unsur-unsur lokalitas Jawa Timur-nya yang amat kental. Lagu-lagu patah hatinya? Kita sudah pernah mendengarnya dari Sobat Ambyar.

Berbicara ihwal logat Jawa Timur-an, aneh rasanya saat mendengar seorang Tatjana Saphira berdialog menggunakan Bahasa Jawa. Salah satu aspek yang rawan dalam film dengan bahasa daerah, namun terdapat pemain yang bukan dari daerah tersebut. Boleh jadi ada lebih banyak pemain yang bukan asli Jawa Timur dalam Lara Ati. Namun yang paling kentara perbedaannya dengan pemain lain hanyalah Tatjana. Dan yang kali ini mendapat sorotan terbaik berkat lelucon-leluconnya adalah sosok Pak Bandi, ayah Joko, yang diperani Cak Kartolo.

Baca Juga  Kuntilanak 3

Lara Ati pun mengusung konsep musikal dalam beberapa kali kesempatan. Mengambil referensi dari Sobat Ambyar? Sayangnya, tak semua segmen musikalnya terasa jujur atau terjadi secara masuk akal. Hanya ada satu atau dua saja dengan penempatan yang tepat. Sisanya, cenderung terasa berlebihan dan dipaksakan harus ada dalam momen yang terlalu kebetulan. Meski patut diakui, setiap lagu yang dibawakan dalam Lara Ati memang bagus.

Tak banyak hal istimewa dari Lara Ati, kecuali lokalitas Jawa Timur-nya yang kental, beserta segala komedi dan interaksi antarpersonalnya. Namun memang upaya dari para penulis dan sang sutradara, Bayu Skak, tetap berjalan dengan baik. Kendati cerita yang mereka angkat sejujurnya, telah biasa ada dalam perfilman drama remaja populer Indonesia beberapa tahun lampau. Namun mereka menyadari, Lara Ati punya amunisi yang tak dimiliki film-film lain dari genrenya.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaNoktah Merah Perkawinan
Artikel BerikutnyaDo Revenge
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.