Laskar Pelangi, sebuah film yang diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata yang telah ditunggu-tunggu akhirnya rilis juga. Laskar Pelangi diarahkan oleh sineas papan atas kita, Riri Riza beserta produser tetapnya, Mira Lesmana. Sukses novelnya diprediksi berdampak positif pula pada pemutaran filmnya dan ternyata benar. Pada hari pertama rilisnya, penonton membludak luar biasa. Di Jogja misalnya, tidak sampai tengah hari seluruh tiket untuk hari itu telah ludes terjual. Penulis merasa “beruntung” belum membaca novelnya dan mengharapkan sebuah kejutan besar dari film ini.
Kisah filmnya berlatar di Pulau Belitung pada akhir tahun 70-an. Pulau yang kaya akan sumber minyak tersebut ternyata tidak menjamin seluruh warganya hidup sejahtera. Kisah berpusat pada perjuangan para guru dan 10 murid SD Muhammadiyah Belitung untuk dapat terus melangsungkan kegiatan belajar-mengajar dalam situasi dan kondisi yang serba terbatas. Baik sang guru, Bu Muslimah dan murid-muridnya (Laskar Pelangi), Ikal, Mahar, Lintang, dan lainnya mengalami suka dan duka dalam perjuangan meraih mimpi serta harapan mereka.
Walau inti kisah Laskar Pelangi sangat sederhana, namun banyak menyinggung nilai-nilai universal, seperti rasa persahabatan, pengabdian, serta pengorbanan. Belum lagi isu-isu sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan hingga nilai-nilai agama. Cukup kompleks memang dan masing-masing memiliki titik berat cerita yang relatif sama. Namun rasanya hal ini pula yang menyebabkan kedalaman cerita menjadi relatif dangkal (tanggung). Masing-masing berlari sendiri-sendiri tak jelas mau kemana arahnya. Sejak awal film, isu kemiskinan dan ketidakadilan terasa kental namun tidak begitu kuat menyatu dengan plotnya.
Bu Muslimah berulang-kali diuji dedikasinya terlebih setelah seniornya wafat. Ikal sibuk dengan kisah asmaranya dengan Aling si gadis Tionghoa. Sementara Mahar, si bocah nyentrik selalu sibuk dengan radionya dan Lintang malah lebih bermasalah dengan seekor buaya (isu keberanian) ketimbang masalah ekonomi keluarganya. Rasa persahabatan juga tampak kurang kuat karena karakter murid-murid lainnya kurang ditonjolkan. Kata-kata wasiat Pak Harfan, “banyak memberi daripada menerima”, sepertinya akan berpengaruh pada plotnya kelak (saya pikir Lintang bakal jadi guru) namun ternyata tidak. It’s only about hopes and dreams after all…
Pencapaian paling mengejutkan justru datang dari para pemain ciliknya, terutama Zulfani (Ikal) dan Veris Yamarno (Mahar) yang mampu bermain sangat natural dalam adegan manapun. Zulfani bermain sangat baik sebagai sosok Ikal yang lugu dan tengah dimabuk asmara. Sementara Veris setiap kali muncul mampu mencuri perhatian melalui sosok Mahar yang ekspresif. Cut Mini juga bermain cukup baik sebagai Bu Muslimah dengan aksen melayu yang sangat fasih walau masih tampak terlalu cantik untuk karakter ini. Sementara Ikranegara sebagai Pak Harfan yang karismatik merupakan satu-satunya karakter pendukung paling menonjol ketimbang sederet nama-nama besar seperti, Tora Sudiro, Slamet Rahardjo, Mathias Muchus, Alex Komang, Jajang C. Noer, dan Rieke Dyah Pitaloka.
Gambar-gambar indah dengan komposisi kuat kembali menjadi andalan sang sineas seperti film-filmnya terdahulu. Pemandangan alam lokal (Pulau Belitung) yang sangat indah dan eksotis sangat mendukung hal ini. Pencapaian ini memang pas dengan tema mimpi dan harapan namun terlalu elegan (cantik) jika harus bersanding dengan tema kemiskinan dan ketidakadilan. Satu hal yang cukup mengganggu penulis adalah kerapnya pemotongan “pace” (tempo) plot filmnya melalui teknik fade-out serta disusul penggunaan shot transisi yang berisi gambar pemandangan. Dua teknik ini sering digunakan sekaligus untuk menutup adegan dalam satu segmen cerita yang sama.
Hal ini memang sah-sah saja tapi rasanya aneh (tidak lazim). Satu contohnya, pada saat Bu Muslimah menangis di luar sekolah sesaat setelah mengetahui Pak Harfan meninggal, teknik fade-out digunakan dan disusul sebuah shot pemandangan indah di senja hari. Penulis menduga shot berikutnya pastilah keesokan harinya namun ternyata tidak. Adegan berpindah masih pada hari yang sama (malamnya) memperlihatkan suasana berkabung di rumah Pak Harfan. Mengapa sih tidak menggunakan cut biasa. Mengapa teknik tersebut tidak digunakan untuk mengakhiri adegan berkabung di rumah Pak Harfan, rasanya lebih pas. Sineas juga melakukan hal serupa pada banyak adegan lainnya.
Penggunaan beberapa adegan sureal sekalipun tidak satu “tone” dengan adegan lainnya cukup memberi warna tersendiri, seperti ketika Ikal berbunga-bunga mengetahui wajah sang idolanya serta ketika Mahar berdendang ala film India untuk menghibur Ikal yang patah hati. Ilustrasi musiknya secara umum juga sangat efektif mendukung beberapa adegan terutama pada momen-momen dramatiknya. Lagu “Laskar Pelangi” yang mengalun manis pada segmen akhir filmnya dijamin akan menjadi hits di kalangan kawula muda.
Terlepas dari beberapa kelemahannya, Laskar Pelangi bisa dikatakan adalah pencapaian istimewa bagi industri sinema kita. Film-film bernuansa mendidik (baik untuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa) seperti inilah yang seharusnya lebih sering kita produksi. Tidak sulit pula rasanya film ini mengulang sukses komersil bahkan mungkin melebihi film Ayat-Ayat Cinta baru lalu.
Film ini layak pula menjadi wakil kita dalam ajang Academy Awards (Best Foreing Languange) tahun depan walaupun secara kualitas masih sulit bersaing. Sewaktu menonton filmnya, penulis langsung teringat pada dua film Asia yang mirip kisahnya dengan Laskar Pelangi, yakni Not One Less (1999/Zhang Yimou) dan Twenty-Four Eyes (1952/Keisuke Kinoshita). Bedanya, kedua film istimewa ini sangat fokus dengan tema filmnya, Not One Less terikat kuat dengan isu kemiskinan, sedangkan Twenty-Four Eyes dengan nilai-nilai pengorbanan dan pengabdian.
WATCH TRAILER
belum sempet nonton, gak dapet tiket lagi.
adegan menanti murid terakhir oke gak?
menurut saya sih lumayan… tapi juga gak istimewa… saya malah suka cut-nya waktu lompat waktu lima tahun kemudian…