Lioness adalah seri aksi intelegen thriller kreasi Taylor Sheridan. Seri rilisan Paramount + ini terdiri dari 8 episode yang berdurasi rata-rata 45 menit. Serial ini juga dibintangi nama-nama besar, sebut saja Zoe Saldaña, Nicole Kidman, Morgan Freeman serta didukung pula Laysla De Oliveira, Dave Annable, Jill Wagner, Stephanie Nur, hingga LaMonica Garr. Dengan nama-nama besarnya, mampukah seri ini menawarkan sesuatu yang baru bagi subgenrenya?

Seri ini mengisahkan satu tim khusus militer AS-CIA bernama Lioness yang memiliki tugas untuk menyusupkan agen dalam sebuah jaringan kriminal (teroris) dan melenyapkan targetnya dengan segala cara. Tim yang dipimpin agen CIA, Joe (Saldaña), kini mendapat misi untuk menginfiltasi keluarga Amrohi yang bertanggung jawab terhadap aksi terorisme di banyak negara. Tim ini berupaya untuk mendekatkan member baru mereka, Cruz (Laysla), seorang perempuan marinir tangguh, dengan putri dari target mereka, Aaliyah Amrohi. Misi ini rupanya menghadapi banyak kendala, dari internal tim, masalah personal Joe dan Cruz, para petinggi CIA, hingga pejabat gedung putih yang merasa berkepentingan.

Untuk plot bertema inteligen semacam ini, aksi seri ini mengingatkan banyak pada film-film aksi spionase adaptasi Tom Clancy dan sosok Jack Ryan (baik film maupun seri). Namun uniknya, Lioness terfokus pada banyak karakter serta subplot yang tidak punya relasi langsung dengan kisah utamanya. Tidak hanya sajian aksi intel (dan baku tembak) semata, namun juga sisi personal beberapa tokoh utamanya, khususnya Joe, Cruz, serta sosok Kaitlyn yang diperankan Kidman. Kombinasi plot ini mampu memberikan sentuhan kental humanis bagi kisahnya. Betapa berat untuk memisahkan antara tugas dan kehidupan pribadi. Kasus Cruz bahkan lebih menarik, bagaimana ia harus berjuang dengan perasaan dan kewarasan batinnya di antara misi yang teramat genting bagi negaranya. Chemistry-nya dengan sosok Aaliyah (Nur) adalah yang terbaik dalam seri ini.

Baca Juga  Skater Girl

Plot seri Lioness, sejak awal berkesan menjanjikan sebuah klimaks yang heboh, seperti episode pembukanya. Proses penyusupan yang demikian susah payah dan panjang (6-7 episode), dengan segala pengorbanan para tokohnya, rupanya tidak mampu dieksekusi sesuai janjinya. Kita tentu tidak butuh satu ledakan besar, namun sebuah ending yang menggigit dan intens yang sepadan dengan proses yang melelahkan. Semua terasa begitu mudah dan singkat. Tak cukup diakhiri hanya sedikit luapan emosi dan air mata. Eksekusinya tak mampu menjawab secara memuaskan dilema moral yang menjadi poin menarik kisahnya. Tugas negara adalah prioritas, hanya sedangkal ini?

Lioness adalah satu perspektif unik aksi inteligen militer dengan segala dilema moralnya, walau tanpa eksekusi besar yang dijanjikan premisnya. Pada akhirnya, kita tahu ke mana lukisan besar plotnya akan mengarah yang tentunya mengkritik kebijakan AS sendiri, seperti film-film bertema senada lainnya. Lioness punya potensi untuk menjadi pembeda, hanya saja ketergesaan dalam menutup kisahnya menjadi lubang yang sulit untuk ditambal. Untuk sekadar tontonan aksi drama thriller yang menghibur, Lioness jelas bukan tontonan yang buruk.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
70 %
Artikel SebelumnyaOne Piece
Artikel BerikutnyaThe Pod Generation
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.