Musik memang salah satu karya seni dengan beragam penikmat. Genre, tipe, gaya, bentuk, dan unsur-unsur penyusunnya pun bermacam-macam. Vincent Maël Cardona lantas menjawab salah satu elemen itu lewat Magnetic Beats dan musik noise-nya. Cardona menulis naskah film ini bersama Vincent Maël Cardona, Chloé Larouchi, Maël Le Garrec, Rose Philippon, Catherine Paillé, Romain Compingt, Baptiste Fillon, dan Maxime Crupaux. Nama-nama dari latar belakang acak. Termasuk pula penulis baru dan editor. Film drama roman produksi Easy Tiger ini diperani antara lain oleh Thimotée Robart, Marie Colomb, Joseph Olivennes, Fabrice Adde, Younes Boucif, Maxence Tual, dan Judith Zins. Musik, drama, dan roman. Terkesan biasa, namun apakah benar demikian?

Philippe Bichon (Robart) adalah seorang warga Brittany tahun 1980-an yang menjadi penyiar radio dengan bakat musik tinggi di tengah perpolitikan yang sedang sibuk memilih presiden. Sesudah kabar kemenangan salah satu calon terpublikasi lewat siaran televisi, Philippe tak mengalami perubahan signifikan dalam hidupnya. Ia tetap bersenang-senang pada malam hari, siaran, menciptakan musiknya sendiri, mengurus kakaknya yang badung, Jérôme (Olivennes), dan berdekatan dengan Marianne (Marie). Namun di antara rutinitas tersebut dan relasinya dengan Marianne, Philippe mesti berangkat menuju Berlin Barat (pada masa itu). Perjalanannya lantas mempertemukannya dengan Kader (Boucif), anggota militer pula, namun bisa satu frekuensi musik dengan Philippe.

Magnetic Beats bercerita dengan tenang, beberapa kali menyenangkan, mulus, tanpa gejolak yang berarti. Sekalipun ada sentakan dramatik atau peristiwa gawat, penonton tak perlu tenggelam terlalu dalam untuk itu. Singkatnya, Magnetic Beats bisa ditonton dalam situasi yang sangat santai sambil melepas lelah pada malam hari. Kita bahkan bisa menontonnya sembari mengobrol ringan dengan teman di bangku sebelah. Toh tokoh utamanya selalu mujur. Punya segudang keberuntungan setiap kali mengerjakan hal baru atau terlibat dengan orang baru. Paling tidak sampai segmen-segmen akhir film.

Nuansa yang sedemikian santai itu berimbas pada keseriusan para penulis dalam mengerjakan setiap plot naskah mereka. Terutama kejelasan plot utamanya. Ya. Kelemahan paling kentara dari Magnetic Beats adalah perihal naskahnya. Ditulis oleh banyak orang tidak membuat naskah film ini jadi solid karena celah-celahnya tertutup oleh beragam sudut pandang. Skenario Magnetic Beats justru melompat-lompat dari satu plot ke plot lainnya sampai kita tidak tahu, yang mana plot utamanya. Satu aspek yang paling bermasalah dalam Magnetic Beats. Apakah plot utamanya adalah Philippe dan bakat musiknya, Philippe dan kemiliteran, Philippe dan kakak laki-laki serta keluarganya, atau Philippe dan Marianne dengan relasi asmara mereka yang canggung? Tidak ada plot yang dibuat dengan porsi paling besar di antara semua ini. Mereka, plot-plot ini, terasa sama besarnya.

Baca Juga  The Zone of Interest

Magnetic Beats bisa tampil sedemikian percaya diri boleh jadi karena adanya kombinasi kisah roman canggung dan problematika ayah-anak dalam keluarga, dengan penceritaan terbatas. Benar. Sama seperti The Night Doctor dan Tokyo Shaking, film ini pun menggunakan pendekatan serupa. Walau itu tidak memberi pengaruh signifikan, ketika salah satu unsur paling penting (plot) dalam naskah saja tidak digarap dengan bijak. Mengobral kisah santai belaka dengan momentum dramatis pada pungkasan cerita tak dapat dijadikan penjamin kualitas filmnya. Mungkin sedikit-banyak, salah satu yang dapat diperhatikan dengan nyaman adalah upaya Philippe terhadap perjalanan bermusiknya. Ada permainan suara langsung dan tidak langsung di sana. Apalagi dengan selera tipe musik sang tokoh utama yang berbeda. Musik-musik noise.

Magnetic Beats agaknya ingin membicarakan soal detak irama antarsetiap musik, tetapi malah melebar ke mana-mana dengan plot utama yang kabur. Meski memang sajian musik campurannya memiliki sisi kenikmatannya sendiri, sayangnya sineas Magnetic Beats berulang kali menggeser itu dengan kisah-kisah lain. Elemen dramanya pun hanya kuat pada bagian penutup. Ketika sang tokoh utama pada akhirnya dibenturkan oleh fakta terkait orang-orang terdekatnya, dan mesti menemukan sendiri jalan keluar terbaiknya. Walau terdapat pula elemen sejarah di sana ihwal pemilihan presiden, namun tak ada fungsi konkretnya terhadap plot utama maupun keseluruhan cerita. Apakah sistem perpolitikannya kemudian menyusahkan tokoh utama? Tidak juga.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaThe Night Doctor (Festival Sinema Prancis)
Artikel BerikutnyaLuckiest Girl Alive
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.