Mama Cake, Film Religi dengan Kemasan Anak Muda

0
Mama Cake (2012)
137 min|Comedy, Drama|13 Sep 2012
7.5Rating: 7.5 / 10 from 85 usersMetascore: N/A
Three best friends in adventure to buy the steamed brownies "Mama Cake" for one of their friend's dying grandmother. But every time after they already bought it, there must be a bad accident happen to them.

Mama Cake adalah sebuah film komedi “road movie” remaja kita yang langka sekaligus menjadi perjalanan spiritual bagi masing-masing tokohnya. Berkisah tentang tiga orang pemuda yang telah bersahabat sejak kecil. Mereka adalah Rakha seorang pemuda idealis, anti kemapanan, dan materi bukan masalah bagi keluarganya, Willy adalah seorang playboy gaul yang gayanya kebarat-baratan, sementara Rio adalah pecinta alam dan cinta adalah moto hidupnya. Suatu hari nenek Rakha yang sekarat meminta brownies Mama Cake, harus fresh dari Bandung dan mereka bertiga pun pergi kesana. Dari perjalanan tersebut banyak kejadian tak terduga dan mereka mendapatkan pelajaran hidup yang berharga.

Sejak adegan kilas depan yang menjadi pembuka film, film ini berhasil mencuri perhatian melalui dialog cepat dan humor ringan a la Tarantino. Secara umum filmnya disajikan dengan gaya komik, penggunaan teks atau simbol untuk menegaskan dialog atau aksi, teknik split screen, serta animasi. Warna gambar juga disajikan artifisial, warna rumput pun bisa berubah menjadi biru seperti nuansa di alam mimpi. Teknik-teknik tersebut konstan disajikan sepanjang film, walau memang memiliki motif namun lama kelamaan karena terlalu sering digunakan menjadi melelahkan. Durasi 143 menit serta kisahnya yang predictable juga menjadi alasan mengapa film ini terasa sangat panjang dan sedikit membosankan.

Baca Juga  Trilogi “The Dark Knight”

Terlepas durasi yang panjang dan melelahkan, tema dan kisahnya memang menjadi keunikan film ini. Dari banyak sisi film ini bisa dibilang film religi namun kemasannya layaknya film remaja masa kini. Sisi dakwah muncul tidak hingga akhir film. Rakha, Willy, dan Rio adalah tipikal remaja masa kini yang masing-masing punya prinsip hidup yang berbeda. Dalam satu perjalanan kecil ini mereka masing-masing mendapat pelajaran besar serta derita hebat. Rakha dengan idealisme dan kemapanan materinya dihadapkan pada situasi di luar kendalinya tanpa dukungan materi sama sekali. Willy yang selalu mempermainkan wanita kini terbalik diperdaya wanita. Rio yang merasa telah dekat dan mengenal alam akhirnya memahami jika cinta saja ternyata belumlah cukup. Sosok pria misterius berambut gondrong layaknya malaikat selalu muncul pada saat-saat tak terduga.

Tiga kasting utamanya bermain cukup baik dan masing-masing pas dengan perannya, khususnya Boy William yang ekspresif dan separuh dialognya menggunakan bahasa inggris “slank”. Beberapa aktor senior serta juga tampil namun sekedar lewat saja. Untuk kisah komedi “one day story” sejenis ini durasi 143 menit jelas terlalu lama. Secara umum diluar banyak kelemahannya dan aksi-aksi komedi yang konyol, film ini cukup baik untuk ukuran film-film kita. Film ini mencoba berdakwah dengan caranya yang unik dan ringan tanpa harus berkhotbah.

Artikel SebelumnyaAntara Bioskop dan Rating Film
Artikel BerikutnyaRumah di Seribu Ombak, Film Anak yang Terlalu Kelam
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.