Marry Me adalah film komedi romantis yang diarahkan Kat Coiro yang sebelumnya banyak mengarahkan seri televisi. Kisah film ini diadaptasi dari novel bergambar karya Bobby Crosby. Marry Me dibintangi beberapa nama besar, yakni Jennifer Lopez, Owen Wilson, Sarah Silverman, John Bradley, dan Maluma. Dengan bintang besar serta bujet medium USD 26 juta, apakah film ini mampu menyumbang sesuatu yang berbeda untuk genrenya?

Kat Valdes (Lopez) dan Bastian (Maluma) adalah dua pemusik superstar yang akan menikah secara live di hadapan jutaan pemirsa di tengah konser mereka. Satu rekaman viral yang memperlihatkan aksi bejat Bastian, mengubah segalanya. Kat yang amat terluka, mendadak memilih salah seorang penonton, Charlie (Wilson) untuk menikahinya. Dalam tekanan situasi, Charlie pun menerima. Charlie menyadari betul ini hanya aksi emosional sesaat serta ada jarak sosial yang jauh dengan “istri” barunya. Too good to be true. Namun, cinta rupanya tidak punya batas.

Sudah ratusan film komedi romantis menggunakan format beda status sejak era klasik. Marry Me mencoba mendorong lebih jauh lagi beda level statusnya dan hasilnya adalah sebuah premis yang sebenarnya menjanjikan. Seorang penyanyi superstar dan guru matematika biasa, sulit dibayangkan, apa potensi cerita yang bisa dilakukan dengan dua sosok yang kontras ini? Pretty Woman (1990) dan Notting Hill (1999) hingga saat ini adalah contoh film roman modern yang paling sempurna untuk mewakili genrenya.  Hingga separuh awal durasi, film ini telah melakukan tugasnya dengan baik, lalu sisanya? Ya, tak ubahnya film komedi romantis lazimnya, biasa saja.

Penikmat film tentunya sudah kenal betul sosok J-Lo dan Wilson. Genre ini pun sudah tak asing bagi mereka, seperti Maid in Manhattan dan Wedding Crasher. Kemampuan akting mereka tak perlu kita ragukan. Apa yang kurang, ada di naskahnya, bukan mereka. Pasca kejadian gila di konser, dan keduanya masuk ke dalam mobil, kita menanti betul apa yang akan terjadi selanjutnya, dengan alur yang mudah sekali untuk diantisipasi. Proses adalah penting bagi genre ini, dan ini yang membedakan tiap film, sekalipun template-nya senada. Membangun chemistry di antara dua tokoh beda kelas memang gampang-gampang susah dan Marry Me banyak melewatkan hal-hal kecil yang penting. Bagi Charlie mudah, siapa laki-laki di dunia yang tidak akan jatuh cinta dengan Kat? Tapi bagi Kat, apa yang membuat sosok Charlie begitu beda dengan laki-laki dalam hidupnya? Ini yang kurang tergali.

Baca Juga  The Karate Kid

Sosok putri Charlie, Lou, banyak hilang sejak peristiwa konser, lalu hubungan ia dengan Kat kurang dieksplorasi lebih dalam. Tak jelas, ke mana Lou ketika Kat datang ke rumah ayahnya. Momen ini terlewat begitu saja. Lantas, chemistry Kat sendiri terasa kurang menggigit. Masih ingat Long Shot, bagaimana ekspresi dan gestur Charlotte (Charlize Theron), kepala sekretaris negara, ketika bersama Fred (Seth Rogen) si jurnalis? Dalam satu momen tergambar begitu manis. Ini yang kurang terlihat dari sosok Kat. Ada sebuah perubahan besar dalam dirinya, sesuatu yang berbeda, yang memperlihatkan diri dan pribadinya menjadi lebih baik dari sebelumnya sejak bertemu Charlie. Orang-orang di sekitar Kat bisa melakukan ini dengan mudah. Chemistry ini tak cukup hanya digambarkan melalui sepenggal dialog serta montage Kat yang kini bisa membuat juice sendiri.

Marry Me jelas bukan yang terbaik untuk genrenya, namun boleh jadi adalah salah satu yang menghibur melalui penampilan dua bintang serta segmen musikalnya. Sisi “musikal” memberi warna yang berbeda bagi film ini. Nyaris semua lagu dinyanyikan langsung oleh sang bintang. Satu nomor di pertunjukan pesta sekolah tersaji manis, lalu tercatat pula, On My Way dengan montage berkelasnya. Sisi humornya juga tidak pernah memaksa dan berlebihan. Marry Me dengan segala atribut genrenya, mengingatkan bagaimana medium film mampu memberikan tontonan sederhana dan menghibur. Selama hampir dua jam, film ini mampu membawa kita ikut bermimpi dan berharap, di tengah situasi dunia yang sedang bergejolak. Kadang hidup penuh kejutan dengan menawarkan sesuatu di luar impian. Charlie meresponnya dengan singkat, “oke (saya terima)”.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaDeath on the Nile
Artikel BerikutnyaThe Doorman
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.