Tak Mampu Membuka Mata Hati

Mata Tertutup Poster
Mata Tertutup Poster

Studio : Maarif Production / Yayasan Set
Sutradara : Garin Nugroho
Produser : Garin Nugroho / Fajar Riza Ul Haq / Asaf Antariksa / Endang Tirtana
Penulis Naskah : Tri Sasongko
Pemain : Jajang C.Noer / M. Dinu Imansyah / Eka Nusa Pertiwi
Ilustrasi Musik : Dwiki Darmawan
Sinematografi : Anggi Frisca
Editing:  Beck / Arturo G.P.
Durasi: 90 menit

 

 

 

 

Film ini memiliki tiga plot utama, pertama adalah Asimah (Jajang C.Noer) yang kehilangan putrinya, Aini yang belakangan diketahui ikut dalam Gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Sementara Jabir (M.Dinu Imansyah) adalah seorang pemuda pesantren yang keluarganya terhimpit masalah ekonomi, ia lalu bertemu dengan ustad yang mengajaknya bergabung masuk kelompoknya. Kisah terakhir adalah Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang aktivis NII yang memiliki pandangan visioner dan menginginkan perubahan di NKRI.

Setidaknya Garin konsisten dengan isu sosial dan moral yang tampak dalam banyak film-film sebelumnya. Tema utama yang diangkat kali ini adalah masalah terorisme dan gerakan radikal di negeri ini. Namun sayangnya film ini hanya mampu menggambarkan gagasan tentang adanya gerakan radikal tanpa menggali konflik dari tiap karakternya lebih dalam. Kisahnya datar dengan tempo yang lambat dan membosankan. Asimah sepanjang film hanya berkutat dengan pencarian putrinya tanpa ada konflik yang menyertainya. Jubir dan rekannya hanya merenungi nasib tanpa menggali pangkal persoalan.

Banyak bagian plot yang kurang kuat motifnya tanpa penjelasan yang substansial. Sebenarnya apa yang membuat Aini serta banyak orang masuk NII? Dalam filmnya diperlihatkan orang di tempat umum bisa begitu saja dibawa masuk ke mobil, lalu ditutup matanya, dan dibacakan sesuatu tanpa perlawanan. Apa ini cuci otak, hipnotis, atau mistik? Bagaimana prosesnya? Apakah segampang itukah ideologi atau keyakinan seseorang bisa berubah begitu saja. Lantas apa yang mendasari Jabir mau melakukan percobaan bom bunuh diri? Apa aksinya itu lalu dapat menyelesaikan masalah keluarganya? Tega nian Jabir begitu saja meninggalkan keluarganya yang sedang dalam kesusahan. Ada satu memang adegan menyentuh ketika Rima akhirnya sadar bahwa selama ini aktivitas yang ia lakukan ternyata keliru. Air mata Rima meleleh ketika mendengar lagu Indonesia Pusaka yang dilantunkan anak-anak di sebelah rumahnya.

Baca Juga  Orang Kaya Baru

Dari sisi teknis, Mata Tertutup jauh berbeda dengan film-film garapan Garin sebelumnya seperti, Daun di Atas Bantal, Opera Jawa, dan Under The Tree yang memiliki keseimbangan sinematik dan naratif. Beberapa gaya sineas yang tampak adalah penggunaan long take serta unsur lagu (tembang) untuk memperkuat adegan dan menyampaikan pesan filmnya. Tak ada yang berkesan dari sisi setting maupun sinematografi. Selain Jajang C.Noer, pemain lain masih terlihat amatir (kaku). Secara umum sangat disayangkan, sineas sekelas Garin memproduksi film dengan kualitas teknis yang buruk seperti ini. Konon film ini akan road show ke sekolah-sekolah. Mata Tertutup sedikitnya mengingatkan betapa penting peran keluarga dalam menjaga dan melindungi generasi muda kita namun dengan kisahnya yang dangkal rasanya sulit untuk bisa membuka mata (hati) penonton khususnya remaja untuk lebih kuat dalam menghadapi jaman yang semakin keras dan anarkis.

Artikel SebelumnyaReal Steel
Artikel BerikutnyaFenomena Twilight
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.