Maze Runner: The Death Cure (2018)

143 min|Action, Adventure, Sci-Fi|26 Jan 2018
6.3Rating: 6.3 / 10 from 171,858 usersMetascore: 50
Young hero Thomas embarks on a mission to find a cure for a deadly disease known as "The Flare".

Maze Runner: The Death Cure adalah film penutup dari trilogi Maze Runner, yang diawali The Maze Runner (2014) dan Maze Runner: Scorch Trials (2015). Kedua seri awalnya saja sudah menghasilkan lebih dari US$ 600 juta dengan total bujet keduanya kurang dari US$100 juta. Seri film yang diambil dari novel remaja populer berjudul sama ini, kembali menggaet sineas Wes Ball untuk film ketiganya. Film yang seharusnya rilis awal tahun lalu ini sempat tertunda produksinya akibat kecelakaan yang dialami sang aktor, Dylan O’Brien sewaktu produksi. Film ini masih menggunakan para pemain reguler dari dua film sebelumnya, termasuk O’Brien, Kaya Scudelario, Thomas Brodie-Sangster, Will Poulter, Ki Hong Lee, serta Patricia Clakson.

Selepas peristiwa dalam seri kedua, Thomas dan dua rekannya yang tersisa, Newt dan Frypan berusaha menyelamatkan Minho. Usaha mereka gagal dan berujung perjalanan mereka ke Last City, yang sekaligus menjadi sarang organisasi Wicked. Usaha mereka untuk menembus tembok raksasa yang mengelilingi kota, rupanya tidak mudah. Sementara di lain pihak, Teresa dan Ava, di tengah keputusasaan dan tekanan dari atasan mereka karena belum bisa menemukan obat dari penyakit mematikan yang melanda umat manusia.

Film dibuka dengan adegan aksi ala Mad Max yang sangat mengesankan, walau usaha tersebut tampak konyol karena mereka tidak bisa menemukan seseorang yang mereka cari. Bagaimana mereka tahu Minho ada di gerbong yang mana hanya karena suara jeritan di dalamnya? Plot cerita setelahnya bertujuan sama hingga akhir. The Death Cure bisa berganti judul Finding Minho karena memang semua motif filmnya berjalan karena alasan ini. Plot yang sesungguhnya justru terasa seperti tempelan belaka. Solusi akhir pun menimbulkan pertanyaan besar dan premis ini sudah pernah saya singgung di ulasan film pertama. Mengapa susah payah mengorbankan sekian remaja yang imun terhadap penyakit jika cara yang sederhana saja bisa dilakukan? Mengapa repot-repot membangun tembok Maze yang jumlahnya entah berapa? Bisa jadi di sumber aslinya ada penjelasan tentang ini, namun jelas tidak di filmnya.

Baca Juga  The Invisible Man

Maze Runner: The Death Cure sudah jauh lepas dari konsep film pertamanya dengan durasi yang terlalu panjang, penuh aksi dan bising, tanpa kita bisa memedulikan karakternya. Film pertama adalah yang terbaik di serinya. Film ini mampu membangun unsur kejutan, misteri, serta ketegangan hingga akhir tanpa kita bisa merasakan durasi filmnya. Konsep yang segar plus para pemain muda yang bermain apik menjadikan permainan bertahan hidup ini begitu memikat kita nikmati. Film kedua dan ketiga sudah berbeda konsep dengan hanya mempertahankan kontinuitas cerita semata. Unsur kejutan dan misteri hilang dan unsur ketegangan berjalannya cerita semakin meredup. Alhasil aksi pun terasa hanya sebagai formalitas, hambar, dan terlalu mudah diantisipasi hasilnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaNominasi Academy Awards Ke-90
Artikel BerikutnyaThe Death Of Stalin Dicekal di Rusia
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.