..
Saya tak ingin bertanya-tanya apa seragam kadet calon perwira di tahun 1947 seperti yang terlihat di film ini, pakai dasi segala. Saya tak ingin bertanya-tanya apa nama akademi militer saat itu dinamai Sekolah Tentara Rakjat dan bukannya Akademi Militer saja (seperti saat saya googling dan menemukan keterangan soal Pertempuran Lengkong di tahun 1946 antara taruna Akademi Militer Tangerang dengan tentara Jepang yang ogah menyerah). Saya tak ingin bertanya-tanya apa begitu keadaan akademi militer di tahun-tahun itu?

Saya tak sedang ingin mempertanyakan keotentikan detil sejarah film ini. Sebab, sineasnya sendiri belum apa-apa sudah bilang begini: “Kalau tidak difiksikan, saya harus bersandar pada sejarah. Kalau begitu, saya angkat tangan karena harus ada riset yang sangat teliti. Dengan fiksi, saya bisa melanggar beberapa hal. Saya lebih bebas,” kata Yadi Sugandi, sutradaranya seperti dimuat Koran Tempo (23/7/2009). Duh, berabe juga bila sineas kita malas riset. Padahal arsip dari tahun-tahun di masa revolusi fisik melimpah di arsip nasional, dokumentasi foto Ipphos, dan entah di mana lagi. Sekadar googling di internet pun, pasti ketemu bahan-bahan bacaan atau sejumlah foto-foto jadul. Lantas, bila film ini tak menawarkan keotentikan sejarah, apa lagi yang ditawarkannya?

Film ini jelas utamanya untuk membangkitkan nasionalisme. Hal itu dibalut aksi megah ledak-ledakan yang tak kalah dari film-film perang Hollywood. Dari sini saya jadi ingat film aksi-perang di tahun 1970 dan ‘80-an. Waktu itu, genre ini sempat populer. Selain yang otentik sesuai sejarah (misal Janur Kuning [1979], Serangan Fajar [1981], Bandung Lautan Api [1974]), ada juga yang utamanya mengedepankan aksi heroisme, yakni Pasukan Berani Mati (1982) dan Komando Samber Nyawa (1985). Dua film yang disebut terakhir, dibintang Barry Prima, sang bintang aksi kelas wahid kala itu. Kisahnya tak punya cantelan sejarah, hanya aksi mempecundangi tentara Belanda melulu.

Persoalan manusia di masa revolusi tak terlalu disentuh. Beda dengan film-film revolusi bikinan generasi Usmar Ismail di tahun 1950-an. Sekali waktu, tontonlah Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), Anda akan kaget kalau revolusi kemerdekaan tak semata persoalan dar-der-dor. Di film ini juga bicara soal manusia dalam kemelut revolusi itu. Lihat pula film Usmar lain, Lewat Djam Malam (1954). Di sini, Usmar membicarakan manusia yang sudah berkorban dalam revolusi fisik, tapi merasa terasing saat mesti hidup di jaman normal.

Karenanya, mendudukkan Merah Putih (2009) sebagai kelanjutan film-film revolusi di tahun 1950-an (eranya Usmar dkk) teramat salah. Film ini tampil seolah tanpa beban sejarah. Akademi militer di sini tak ada bedanya dengan yang kita saksikan di bagian awal mini seri Band of Brothers. Apa benar pada kenyataannya begitu, film ini tak hendak menyajikan kebenaran sejarah. Manusianya? Memang ada ajaran untuk mencintai negeri di atas segalanya, persahabatan yang tak mengenal latar etnik dan agama, tapi, buat saya, itu tampil sebatas tempelan sekaligus fragmentaris. Perhatikan misalnya konflik Tomas (Donny Alamsyah) dan Marius (Darius Sinathrya) yang seolah berhenti saat Tomas berkorban agar Marius tak dikeluarkan. Tapi kemudian, mereka berkonflik lagi saat Marius bertindak pengecut, meninggalkan sahabatnya mati sendirian.

Baca Juga  Lampor Keranda Terbang

Terlihat betul sineasnya tak menjaga ritme konflik. Ada pula momen saat tokoh tempelan bertubuh subur menjahit jimat yang katanya kebal peluru. Saat si tokoh itu mati, tak ada lagi penjelasan kalau jimatnya tak berguna. Adegan matinya tak istimewa. Seolah ia hanya figuran tak penting. Padahal, soal jimat ini mengingatkan saya pada satu adegan di film Lebak Membara (1982). Ada adegan seorang jago kampung yang punya jimat kebal peluru. Tapi jimat itu tersangkut di pagar saat ia memanjat markas tentara sekutu. Akhirnya ia tewas diberondong peluru. Adegan tewasnya begitu dramatis. Saya yang menontonnya waktu kecil, teringat terus.

Karenanya paling pantas mendudukkan Merah Putih dalam jejeran film perangnya Barry Prima saja. Duo bule yang mengarang cerita film ini mungkin sedang membayangkan membuat film perang sehebat Saving Private Ryan, The Thin Red Line, atau seri Band of Brothers. Namun, tiga film itu tak hanya hebat secara sinematografis, tapi juga tepat secara historis. Ini yang membuat Merah Putih gagal jadi Saving Private Ryan versi lokal. Sayang, memang, sebab Korea sudah berhasil mengadaptasi sejarah Perang Korea dalam film seru sekaligus bermutu lewat Taegukgi.

Soal Yadi Sugandi? Ah, alih-alih mirip Jan DeBont yang sukses membuat Speed setelah bertahun-tahun jadi juru kamera, Yadi lebih mirip Peter Pau, juru kamera yang meraih Oscar lewat Crouching Tiger, Hidden Dragon, tapi gagal saat membuat The Touch. Seperti Pau, ia piawai menyajikan gambar ciamik, tapi luput memberi cerita yang asyik diikuti.

(Ade Irwansyah)
Artikel SebelumnyaDoa yang Mengancam, Ancaman Apanya?
Artikel BerikutnyaSinetron “Ketika Cinta Bertasbih 2”

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.