Ide untuk mengembangkan sebuah gerakan yang memperjuangkan agar kita tidak selalu berada dibawah bayang-bayang kapitalisasi dan komersialisasi media, sudah sejak lama muncul dalam pemikiran beberapa praktisi televisi dan kreator film. Televisi Publik Lokal dan Komunitas menjadi salah satu bentuk perjuangannya, tetapi karena tidak adanya keberpihakan dari eksekutif dan legislatif terhadap keberagaman kepemilikan media, maka kedua jenis lembaga penyiaran ini dikerdilkan secara politik, ekonomi dan teknologi.
Beberapa kreator film yang merasa tidak nyaman karena selalu dibawah bayang-bayang kapitalisasi dan komersialisasi media, pada awalnya merencanakan Art Cinema, sebuah jaringan bioskop digital di daerah-daerah. Atribut Art Cinema dirasa terlalu berat bebannya. Ada wacana menggunakan atribut lain yaitu : Alternative Cinema, tetapi istilah ini ternyata telah dipakai di dunia internasional sebagai ranah pertunjukan film yang bersifat non profit. Dan juga ada pengertian lain, Alternatif Cinema ditujukan pada film-film yang ekstrim, yaitu violence yang ekstrim, seks yang ekstrim, horor yang ekstrim. .
Akhirnya muncul wacana menggunakan atribut SINEMA MANDIRI. Sinema Mandiri bukan hanya menyiapkan ruang-ruang eksibisi (bioskop) tetapi merupakan gerakan terpadu antara EKSIBISI, PRODUKSI, dan PENDIDIKAN. Sinema Mandiri akan dikembangkan di berbagai daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan kegiatan perfilman. Perlu diberikan catatan, Sinema Mandiri bukan ditujukan untuk memasuki ranah main stream dan juga bukan dimaksudkan untuk menggantikan kegiatan eksibisi film-film pendek yang selama ini sudah eksis. Sinema Mandiri merupakan sebuah jalur baru yang berada diantara jalur main stream dan jalur eksibisi film-film pendek. Sinema Mandiri diharapkan mampu memecahkan masalah utama perfilman di negeri ini, yaitu masalah distribusi dan eksibisi.
Banyak film Indonesia yang cukup serius melakukan eksplorasi tema, cukup kandungan nilai edukasi yang berupa pesan moral, inspirasi, keteladanan dan motivasi. Tetapi film-film tersebut tidak sampai ke sasaran penonton karena hanya menjadi tamu tidak terhormat di bioskop-bioskop 21. Dan masalah yang lebih utama adalah ketiadaan bioskop di daerah-daerah yang tidak ada mallnya, yaitu kota-kota kecil dan kota kabupaten. Sehingga bisa dimaklumi banyak siswa-siswa usia 17 tahun kebawah seumur hidupnya belum pernah nonton film di bioskop.
Kalau di ibaratkan eksibisi film adalah panggung, maka di negeri ini hanya ada 2 jenis panggung, panggung yang tinggi dengan hiasan yang mewah dan atraktif dimana yang berhak naik panggung hanyalah mereka yang menggunakan atribut kemewahan, inilah panggung 21, XXI dan Blitz Megaplex. Di sisi lain ada panggung “lesehan” yang menjadi ajang eksibisi komunitas-komunitas film pendek dan film alternatif, yang seringkali bersifat temporer. Sinema Mandiri ingin menciptakan sebuah panggung baru yang rendah tetapi luas dengan hiasan sederhana, sehingga bisa menampung lebih banyak kreasi dari kreator-kreator film kita.
Bisa di duga, diruang sidang Senat ini tidak banyak yang mengetahui bahwa tahun 2012 ini adalah tahun koperasi Internasional. Koperasi memang terasa kurang menjadi perhatian eksekutif di negeri ini. Padahal di negeri kapitalis seperti Amerika Serikat 25% warganya menjadi anggota koperasi. Koperasi di bidang media merupakan salah satu perwujudan dari ekonomi kerakyatan yang diharapkan mampu mengimbangi penguasaan media secara mutlak oleh para kapitalis. Karena itulah alternatif pengembangan sinema di negeri ini akan diwadahi oleh koperasi, Koperasi Sinema Mandiri (KSM)
KSM di Jakarta dan daerah akan memiliki tiga kegiatan utama eksibisi (bioskop), produksi dan pendidikan. Film-film hasil produksi KSM-KSM tidak hanya di putar di bioskop masing-masing, tetapi akan di edarkan dan diputar di daerah-daerah yang memiliki bioskop KSM. Dengan demikian film yang diproduksi oleh sebuah KSM, akan memberikan pendapatan yang layak bagi KSM masing-masing. Besar kecilnya pendapatan sangat tergantung dari tingkat aktifitas anggota KSM.
Ruang gerak KSM-KSM adalah :
- EKSIBISI
Mengembangkan bioskop dengan menggunakan teknologi digital kelas MID-END. sebuah sistem bioskop digital yang menggunakan proyektor dengan resolusi sedang, yaitu sudah tergolong pada teknologi HD (1920×1080) dengan resolusi setara Blu-ray. Proyektor yang digunakan kelas menengah berkapasitas 4000–7000 ANSI Lumens. Kapasitas Penonton antara 30-60 orang. Sistem produksinya menggunakan kamera mid end - PRODUKSI
Mendorong insan film diberbagai daerah untuk memproduksi film-film yang memberikan manfaat, inspirasi dn keteladanan kepada publik/masyarakat. Basis teknologi produksinya adalah Mid-end. Dikembangkan terutama di daerah yang memiliki kegiatan kreasi film, dikoordinasikan oleh penggiat film, dosen-dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, guru-guru SMK jurusan Film/TV, Multi Media dan Animasi. Daerah yang sudah nampak potensinya : Bandung, Sukabumi, Cimahi, Jogja, Malang, Semarang, Magelang, Surabaya, Padangpanjang, Medan. Dalam produksi ini kita akan memberikan arah pada warna dan kualitas film-film yang dihasilkan, yaitu film-film yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang membumi, searah dengan cita-cita Pendidikan Nasional, “mencerdaskan kehidupan bangsa” dilaksanakan dengan semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara :
- Ing ngarso sung tulada
di depan memberikan keteladanan - Ing madyo mangun karso
terlibat langsung membangun niat dan kehendak - Tut Wuri Handayani.
dari belakang memberikan dorongan
Perlu ditekankan bahwa produksi film disini bukanlah produksi film dalam ukuran industri film main stream yang menelan biaya miliaran rupiah. Dengan teknologi digital dan dengan pendekatan komunitas, biaya produksi bisa ditekan seminim mungkin. Adapun film yang di produksi adalah :
– film cerita panjang (full length feature)
– film omnibus/film antologi (gabungan beberapa judul film pendek yang di ikat oleh tema yang selaras)
– film dokumenter untuk bioskop (theatrical documentary).
Durasi film memang harus disesuaikan dengan durasi standar pertunjukan film di bioskop, yang rata-rata 90 menit. Ini perlu di taati karena kemungkinan film-film produksi Sinema Mandiri juga akan diputar di jaringan bioskop lain di negeri ini atau bahkan jaringan bioskop internasional. Keberlangsungan KSM dalam produksi dan eksibisi sangat tergantung dari jumlah bioskop KSM, minimal dibutuhkan 20 bioskop KSM di seluruh Indonesia. Jumlah optimalnya 40 bioskop, sedangkan jumlah idealnya 80 bioskop KSM.
3. PENDIDIKAN
Ada beberapa kategori pendidikan film disini :
1. Pendidikan/pelatihan untuk calon-calon kreator film di berbagai daerah yang akan menjadi sumberdaya kreatif dan teknik produksi film untuk mengisi bioskop Sinema Mandiri.
2. Pelatihan untuk masyarakat umum yang akan menggunakan film sesuai dengan bidang kerjanya (misalnya guru, penyuluh pertanian, petugas Humas dll).
3. Ekstra Kurikuler atau muatan lokal di sekolah-sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Disini kita akan kembangkan pemahaman bahwa membuat film bukan semata-mata gengsi, tetapi merupakan sebuah pengalaman untuk belajar tentang kehidupan, karena setiap langkah dalam membuat film merupakan pembelajaran dan penerapan nilai-nilai kemanusiaan.
Saat ini Koperasi Sinema Mandiri sudah tidak l agi dalam tahapan embrional, tetapi sudah berada pada tahapan inkubasi. Koperasi Sinema Mandiri Jakarta, Magelang dan Jogja sudah didirikan, segera menyusul Sukabumi dan Batu. Bahkan di Sukabumi sudah dilakukan uji coba bioskop “Sukabumi Sinema Mandiri”. Respon dari berbagai daerah sangat baik, yang pada umumnya memahami pentingnya wadah koperasi dalam pengembangan Sinema Indonesia.
Hartanto