Film bergenre aksi perang produksi TeBe Silalahi Pictures ini, disutradarai oleh Mirwan Suwarso. Studio yang digagas oleh purnawirawan TNI bernama TB Silalahi ini, pernah menggarap genre serupa dalam film Pasukan Garuda: I Leave My Heart In Lebanon (2016). Dalam dua film ini, ia berperan sebagai Executive produser sekaligus menggarap cerita dan naskahnya. Film ini bercerita tentang pembajakan sebuah kapal pesiar oleh sekelompok teroris tak dikenal. Para teroris membawa sandera yang terdiri dari warga negara Indonesia dan warga negara asing ke sebuah hutan di suatu wilayah negara bernama Tongo (fiktif). Sementara kelompok teroris itu dibawah pimpinan seseorang bernama Diego (Ariyo Wahab). Kapten Nurmantyo (Maruli Tampubolon) dan tim pilihan dari TNI ditugaskan untuk membebaskan para sandera dengan melaksanakan sebuah “operasi kilat”.
Adegan film dibuka dengan gambaran aktivitas para prajurit TNI yang berlatih fisik dengan gigih dan memukau. Plotnya berjalan sangat cepat sehingga background masalah kurang memperlihatkan situasi krisis yang menjadi motif untuk melakukan aksi-aksi berikutnya. Lemahnya situasi krisis atau momen-momen genting ini karena kurang adanya informasi terkait dengan bagaimana proses penyanderaannya. Informasi penyanderaan hanya ditunjukkan dengan video berisi berita singkat yang ditonton oleh kapten Nurmantyo, dan rasa-rasanya sangat kurang. Plot yang fokus pada pihak otoritas Indonesia yang mengambil alih penyelamatan juga tidak memberikan informasi tentang bagaimana proses komunikasi dengan otoritas setempat atau negara yang warganya disandera.
Konflik cerita terlihat lemah karena tidak memperlihatkan siapa background terorisnya serta apa motif penyanderaan secara jelas. Motif ekonomi atau politikkah? Seragam militer yang dipakai para teroris tak menjelaskan siapa mereka. Lazimnya dalam film bergenre sejenis, informasi mengenai teroris bisa dianalisis dan diperoleh dari informasi intelijen, namun ini nihil. Film ini hanya menyuguhkan aksi semata tanpa mengolah dramatik cerita sehingga tak terbangun chemistry antar tokohnya. Informasi mengenai dimensi ruang dan jarak yang menggambarkan posisi teroris dan regu penyelamat di hutan juga tak jelas sehingga tak terbangun ketegangan, yang ada hanya kebingungan. Logika cerita juga amat mengganggu dan mengganjal. Jumlah pasukan teroris seperti tidak ada habisnya ketika adegan aksi berlangsung.
Salah satu kekuatan terbesar filmnya terletak pada setting dan properti yang digunakan. Penggunaan setting markas besar TNI serta lokasi, seperti ruang rapat dan ruang kontrol sangat meyakinkan penonton. Penggunaan kapal tempur KRI Diponegoro, Pesawat Sukhoi, helikopter milik TNI yang sesungguhnya juga semakin menambah kuat visualnya. Demikian pula properti senjata serta amunisi yang konon merupakan senjata asli milik TNI. Walaupun adegan aksi terlihat memukau dengan fasilitas properti yang demikian lengkap namun, sayangnya ceritanya tak diolah secara maksimal. Penggunaan pemain yang melibatkan prajurit TNI pun justru malah terlihat kaku dan tidak luwes. Penggunaan efek visual seperti ledakan juga masih terlihat kasar dan tidak realistik.
Film bergenre aksi perang memang jarang diproduksi di negeri ini mengingat bujet serta properti yang dibutuhkan sangat kompleks dan tidak mudah diakses. Walaupun kisah sejenis bukan hal yang baru dalam industri film, namun setidaknya film ini mencoba menawarkan visualisasi yang berbeda dari genre kebanyakan yang muncul di Indonesia. Pesan film ini sangat sederhana, yaitu agar kita bisa menghargai para pahlawan. Sayang, jika saja sisi dramatiknya diolah lebih kuat lagi maka tentu saja pesannya akan lebih menyentuh dan tidak sekedar menyuguhkan aksi semata.
WATCH TRAILER