Midnight in Paris (2011)
94 min|Comedy, Fantasy, Romance|10 Jun 2011
7.6Rating: 7.6 / 10 from 452,817 usersMetascore: 81
While on a trip to Paris with his fiancée's family, a nostalgic screenwriter finds himself mysteriously going back to the 1920s every day at midnight.

Gil Pender (Wilson) adalah seorang penulis naskah film Hollywood yang kini tengah mencoba menulis novel. Bersama tunangannya, Inez (McAdams) dan calon mertuanya pergi ke kota Paris untuk berlibur sekaligus mencari inspirasi. Gil sangat mencintai Paris namun tidak demikian dengan sang istri. Pada saat Gil berjalan sendirian berkeliling kota tengah malam, ia diajak ke sebuah pesta oleh sekelompok orang misterius yang berdandan tempo dulu. Di sebuah tempat ia bahkan bertemu dengan seniman-seniman besar pada era 20-an, seperti Scott Fitzgerald, Ernest Hemmingway, Gertrude Stein, Pablo Picasso, dan lainnya. Entah ini hanya fantasi atau realita namun Gil menikmati ini semua, dan tanpa disadari ia larut dalam fantasinya yang semakin menjauhkan dirinya dengan istrinya.

Mirip seperti filmnya terdahulu, Manhattan, film ini dibuka dengan manis melalui serangkaian gambar Kota Paris yang eksotis lengkap dengan segala aktivitas dan suasananya sejak pagi hari hingga tengah malam. Sentuhan Allen dengan dialog-dialog cepat, panjang dan cerdas sudah tampak pada kredit pembuka filmnya, yang menjadi inti cerita filmnya. It’s all about fantasy. Melalui filmnya Allen mengajak kita ke masuk “alam fantasi” menjelajahi kota Paris pada era emasnya dan melihat bagaimana seniman-seniman termasyurnya berdebat tentang kehidupan serta jiwa dari karya-karya mereka. Dengan sentuhannya yang khas sang sineas mampu mengemas filmnya dengan ringan dan romantis. Allen mampu memadukan antara kisahnya, kota Paris dan seniman besarnya, masa lalu, dan kini dengan sangat brilyan. Naskah yang terhitung orisinil dan dari semua film-filmnya Midnight in Paris bisa dibilang adalah salah satu filmnya yang paling “abstrak”, eksotis, dan romantis.

Baca Juga  Komedi Romantis

Kota Paris dan segala isinya, adalah “aktor ketiga” dalam tiap adegan yang menjadi ruh film ini. Di bagian sudut kota mana pun eksotisme Paris seperti tak ada matinya. Paris masa kini dan Paris masa lalu mampu dikemas dengan rapi melalui properti seperti kendaraan roda empat dan kostum. Musik jazz ringan bernuansa romantis menjadi pelengkap yang menyatu dengan setting Kota Paris. Jika saja film ini diproduksi dua puluh tahun lalu, Allen sendiri pasti yang akan bermain sebagai Gil. Owen Wilson bukanlah Woody Allen. Sekalipun tak memiliki karisma Allen namun ia cukup baik berperan sebagai Gil Pender. Pasti sulit pula mencari pemain untuk berperan sebagai seniman-seniman besar era 20-an. Entah otentik atau tidak, setidaknya otentik menurut visi dan imajinasi sang sineas. Gaya Allen yang suka berlama-lama menahan shot-nya masih pula tampak untuk mendukung penggunaan dialog-dialog yang panjang.

Perjalanan fantasi Gil di kota Paris yang identik dengan kota cinta ini merupakan simbol pencarian cinta sejati dan jati dirinya. Gil memahami masa kini melalui pengalaman masa lalunya. Gil akhirnya bertemu dengan seseorang yang bisa memahami dirinya. Seseorang yang sama-sama mau berbasah-basahan di tengah guyuran hujan yang turun di Kota Paris yang indah. Bakat dan kejeniusan sang sineas ternyata tidak luntur dimakan usia. Siapa sangka Woody Allen yang kini berusia 76 tahun masih sanggup membuat film-film yang begitu energik dan romantis seperti ini.

Artikel SebelumnyaDari mOntase
Artikel BerikutnyaBudaya Bioskop, Budaya Mengantri
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.