Mile 22 (2018)
94 min|Action, Thriller|17 Aug 2018
6.1Rating: 6.1 / 10 from 88,632 usersMetascore: 38
A small team of elite American intelligence officers, part of a top-secret tactical command unit, try to smuggle a mysterious police officer with sensitive information out of Indonesia.

Mile 22, bisa jadi adalah satu film yang paling dinanti para pecinta film aksi di tanah air. Pasalnya, satu aktor top kita, Iko Uwais, bisa bermain bersama aktor papan atas Hollywood sekelas Mark Wahlberg. Sang sineas, Peter Berg, juga adalah sineas yang menggarap film-film sukses, macam Hancock, Battleship, The Lone Survivor, Patriot Days, serta Deepwater Horizon. Film ini juga tercatat adalah kolaborasi keempat sang sineas bersama Wahlberg. Mile 22, konon adalah film pembuka dari triloginya kelak.

Seorang pembelot bernama Li Noor, membawa informasi maha penting tentang keberadaan cecium, sebagai bahan baku bom pembunuh massal. Ia meminta suaka ke AS sebagai ganti atas info kode pembuka sebuah drive yang berisi keberadaan cecium tersebut. Agen khusus, James Silva bersama rekan-rekannya harus membawa sang aset ke bandara sejauh 22 mil dari kedutaan AS. Baku tembak pun terjadi di sepanjang jalan ketika pasukan khusus lokal mencoba mencegah mereka di sepanjang jalan.

Plotnya sederhana dan idenya memang menarik, namun entah mengapa kita begitu sulit untuk bisa masuk ke dalam kisahnya. Satu, karena alur cerita berjalan dengan amat cepat, dan dua karena memang kita benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Motif cerita tampak kuat dan jelas, namun pondasinya begitu lemah. Kita bahkan tak tahu persis, sebenarnya ini berlokasi di negara mana? (dialognya tak pernah menyebut Indonesia, walau mereka sesekali memakai bahasa kita). Dalam film bergenre macam ini, kita tahu, apa pun bisa terjadi, kita tak tahu mana lawan dan mana kawan.

Baca Juga  The Spy Who Dumped Me

Pada segmen penutup, kita akhirnya tahu segalanya. Really? Coba kita pikir menggunakan akal sehat. Mereka melakukan semua upaya itu hanya untuk alasan ITU? Absurd sekali. Dari sisi produksi filmnya, segala kisahnya hanya kedok untuk menyajikan aksi brutal yang sama absurdnya. Aksi-aksinya, secara visual tak ada manis-manisnya. Kamera yang bergerak dan bergoyang sangat cepat, serta editing yang cepat dan kasar, membuat kita sering kali bingung orientasi arah. Kita bahkan kadang tak tahu, siapa lawan dan siapa kawan. Plus ditambah, suara yang sangat berisik sungguh menyakitkan telinga.

Nah, lalu ini. Dengan segmen aksi perkelahian porsi hanya sebesar itu, untuk apa pula membawa aktor laga kita untuk bermain di dalamnya. Iko jelas bisa beraksi lebih baik dari ini. Gareth Evans dalam The Raid, satu segmen aksi perkelahian saja, dapat menyajikannya jauh lebih baik dari semua adegan aksi yang ada dalam Mile 22 yang penuh dengan potongan gambar cepat. Semua yang ingin kita lihat, aksi terbaik Iko, sudah ada di trailer-nya. Tidak bisa dipercaya bukan?

Walau ide Mile 22 menarik, namun sayangnya sang sineas mengemasnya dengan pendekatan cerita dan estetik yang absurd, serta tak mampu mengeksplorasi maksimal kemampuan para pemainnya. Tak dipungkiri, Mile 22  adalah salah satu karya terburuk sang sineas. Baik potensi yang dimiliki Walhberg maupun Iko, semuanya tak maksimal. What a waste. Saya masih bisa menikmati Battleship (film buruk sang sineas lainnya) daripada film ini. Konon, film ini (triloginya) juga dimaksudkan sebagai awal dari sebuah web series. Entah benar apa tidak, yang jelas teknik close up (shot dekat) memang sering dipakai di filmnya dan ini sungguh membuat tak nyaman secara visual.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaDOA (Doyok – Otoy – Ali Oncom): Cari Jodoh
Artikel BerikutnyaSearching
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.