miracle in cell

Siapa kiranya yang telah lupa dengan 7-beon-bang-ui seon-mul, judul Korea dari Miracle in Cell No. 7 versi orisinal yang fenomenal pada masanya (2013). Melalui produksi Falcon Pictures serta keterlibatan sang penulis dan sutradara karya aslinya, Hwan-kyung Lee, film tersebut diadaptasi untuk kali kedua ke dalam versi Indonesia dengan judul Miracle in Cell No. 7. Tercatat adaptasi pertamanya adalah versi Filipina, Miracle in Cell No. 7 (2019). Versi Indonesia-nya ini diarahkan oleh Hanung Bramantyo dengan skenario garapan Alim Sudio. Drama ironi keluarga dan komedi ini diperankan oleh Vino G. Bastian, Graciella Abigail, Mawar de Jongh, Indro Warkop, Rigen Rakelna, Indra Jegel, dan Denny (Densu) Sumargo. Entah hanya sebagai tribute atau memang adaptasi, tentu tetap perlu dikomparasikan dengan karya sumbernya. Hasilnya? Boleh jadi tak mengecewakan.

Kisahnya bermula dari pembukaan kembali kasus lama oleh Kartika (Mawar), dengan terpidana ayahnya sendiri. Dodo Rozak (Vino) ialah orang tua tunggal dari Kartika (Graciella). Seorang tukang balon dengan kelainan mental. Sepeninggalan sang istri, Dodo membesarkan Kartika seorang diri. Sampai suatu ketika, ia tanpa sengaja terjebak dalam tragedi meninggalnya seorang gadis kecil, dan dituduh sebagai pembunuh sekaligus pemerkosanya. Kepolisian mempercepat proses hukum untuk Dodo agar segera dijatuhi sanksi. Prosesnya yang berjalan sepihak pun memaksa, mengintimidasi, menekan, serta memojokkan Dodo agar mengaku bersalah. Dodo kemudian divonis hukuman mati dan dijebloskan ke dalam sel nomor 7. Dalam sel tersebutlah ia bertemu para penghuni dengan solidaritas tinggi.

Kisah tentang Miracle in Cell No. 7 diadaptasi dengan baik oleh Hanung dari film aslinya yang telah tayang 9 tahun lalu. Selain karena memang Hwan-kyung Lee, penulis dan sutradara 7-beon-bang-ui seon-mul (2013) –judul film orisinalnya—juga terlibat dalam naskah adaptasi versi Indonesia ini. Hal yang sama dilakukannya pula terhadap Miracle in Cell No. 7 (2019) versi Filipina. Tingkat fenomenal judul ini memang amat menarik dan menggugah nalar emosional, baik dibawakan dengan versi orisinal, adaptasi kedua, maupun ketiganya. Pada dasarnya jika kita lihat dari segi nilai cerita saja, kisahnya sendiri sudah memiliki daya pikat. Tergantung kemudian dari masing-masing versi adaptasi mengolah pengembangannya.

Miracle in Cell No. 7 (Indonesia) menarik atensi yang besar dari penonton tanah air. Boleh jadi didominasi oleh penggemar film Korea-nya. Meski level unsur dramanya belumlah sekuat film orisinalnya. Miracle in Cell No.7 (Korea) atau 7-beon-bang-ui seon-mul punya daya hantam yang amat kuat pada masanya dari segi drama. Momen ironi, tragedi, haru, pilu, rasa sakit, hingga perpisahan menyedihkan berbalut senyum palsu untuk saling melepaskan. Semua ini terasa lebih kuat ketimbang yang dapat dihadirkan oleh versi adaptasi ini. Dalam hal ini, peran dari para aktor dan kedekatan kamera dalam menangkap momen dramatis sebenarnya sangat berpengaruh. Selain dari faktor transisi antargambar dan pengaruh dari musik pula.

Baca Juga  Keluarga Cemara 2

Namun bila membandingkan dari segi komedi, versi adaptasi ini memang punya keuntungan kedekatan demografis dan sosiologis dengan penonton tanah air. Topik-topik lawakan, peristiwa antisipatif, kekeliruan tindakan, hingga sosok-sosok pemain dengan karakter yang mereka perankan. Faktor-faktor yang membuat elemen komedi dalam Miracle in Cell No. 7 (Indonesia) lebih unggul daripada sumbernya. Jika saja olah peran drama dari Mawar, Vino, dan Densu tak banyak mengambil alih, unsur komedinya pasti sudah tak terbendung. Khususnya saat masing-masing dari mereka, membawakan dengan baik dan tepat beberapa dialog yang sudah dibuat. Mawar sebagai Kartika dewasa terutama. Cara mereka bertiga melafalkan, tinggi-rendah nada bicara, intonasi suara, maupun penekanan kata atau kalimat.

Meski dengan naskah yang agaknya tampak solid, beberapa bagian kecil nyatanya tak berhasil lolos dari dugaan penonton. Celah-celah tipis yang kurang diantisipasi dengan matang oleh Alim Sudio saat menulis skenarionya. Selain kekurangan lain yang terletak pada durasi adegan dramatis untuk beberapa adegan yang terlalu panjang. Walhasil, perasaan penonton kadung menjadi hambar terlebih dulu. Bukannya semakin terisak, air mata malah mengering. Beberapa di antara penyebabnya juga karena kualitas akting beberapa pemain yang kurang matang untuk mendalami peran mereka.

Kita tahu bahwa tepat sebelum Miracle in Cell No. 7, Hanung merilis Satria Dewa: Gatotkaca yang mengalami flop karena dikerjakan dengan terburu-buru. Untungnya film ini tak mengalami nasib serupa. Apresiasi yang besar pula untuk tim artistik, karena telah menyiapkan banyak bagian pentingnya. Walau sebagian besar cerita pun berlangsung dalam setting terbatas ruang-ruang area penjara, kita tetap dapat menerka-nerka gambaran desain produksi dan taksiran nilai produksinya. Hal lain yang cukup mencolok dalam film ini ialah teknis gambar 360 derajatnya yang berkali-kali dilakukan untuk berbagai situasi. Khususnya dalam momen kritis yang menuntut tensi yang tinggi dan intens.

Miracle in Cell No. 7 menghadirkan sensasinya sendiri dengan baik, berkat kerja sama yang sehat antara sineas versi adaptasi ini dengan sineas film orisinalnya. Casting yang pas pula untuk memerankan para napi penghuni sel nomor 7. Khususnya duo Jegel dan Rigen sebagai Atmo dan Yunus yang paling komikal, dan Indro sebagai Japra dengan celetukan-celetukan berbahasa Jawa-nya. Meski untuk para pemain selain Mawar, masih menunjukkan hasil yang mengganjal ihwal akting drama masing-masing. Jarang pula bagi sang sineas bisa menggarap sebuah film dengan baik belakangan ini. Walau untuk yang kali ini, ada pengawalan dari sang empunya cerita.

PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaMendarat Darurat
Artikel BerikutnyaMembaca Pengabdi Setan 2: Communion, KKN di Desa Penari, dan 5 Tahun Genre Horor Indonesia
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.