Snow White Sentuhan Tarsem Singh


19 April 2012
Sutradara: Tarsem Singh
Produser: Ryan Cavanaugh / Bret Ratnerr / Kevin Misher / Bernie Goldman
Penulis Naskah: Marc Klein / Jason Keller
Pemain: Julia Roberts / Lily Collins / Nathan Lane / Armie Hammer
Sinematografi : Brendan Galvin
Editing: Robert Davy / Nick Moore
Ilustrasi Musik: Alan Menken
Distributor: Relativity Media
Durasi: 106 menit
Bujet: $85 juta
Kisah dongeng abadi Snow White telah diadaptasi tak terhitung banyaknya dalam berbagai medium termasuk film. Kisah Snow White identik dengan putri nan cantik, ratu jahat, cermin ajaib, tujuh kurcaci, apel beracun, serta pangeran tampan. Versi Singh berbeda dengan cerita lazimnya dan sineas menambahkan sentuhan mise en scene-nya yang khas. Sineas asal India ini kita kenal dengan film-filmnya yang sangat imajinatif dari sisi setting serta kostum, tampak dalam karya-karyanya seperti The Cell (2000), The Fall (2006), serta Immortal (2011). Dan kini dalam Mirror Mirror sentuhan emasnya sama sekali belum hilang.  
“Ini adalah kisah tentang saya (bukan Snow White)”, ungkap sang ratu (Julia Roberts) pada narasi pembuka. Ini tidak sepenuhnya benar, kisahnya boleh dibilang fifty-fifty antara sang ratu dan sang putri. Pangeran Alcott yang dikisah aslinya tak banyak memegang peran justru kini lebih sedikit dominan dan satu lagi ajudan sang putri, Brighton (Nathan Lane). Kisahnya relatif merata antara semua karakter termasuk tujuh manusia kerdil (saya istilahkan kerdil karena mereka sepertinya bukan kurcaci). Belum lagi arah filmnya yang lebih ke komedi menjadikan nuansa filmnya manjadi tidak serius dan alur kisahnya mudah ditebak. Juga dari judul filmnya seolah cermin ajaib bakal berperan dominan dalam filmnya ternyata tidak juga. Chemistry cermin ajaib dengan sang ratu hanya sebatas “fisik” saja.
Bicara setting dan kostum, sentuhan Singh bersama mendiang penata artistiknya, Eiko Eshioka, adalah salah satu yang terbaik dan terunik melalui imaginasi dan fantasinya. Ruang interior istana yang megah dengan dekorasi yang unik, kamar sang ratu, hingga “ruang cermin” melalui entrance yang sangat fantastis. Melalui kostum yang cerah dan berwarna, Tarsem menggambarkan sang ratu tidak lebih “jahat” dari semestinya dan pas dengan karakter Roberts, sementara kostum Snow White selalu berwarna putih. Pesona kostum nan unik dan penuh warna tampak pada pesta sang ratu di istana. Last but not least, kostum para manusia kerdil sepertinya adalah yang paling imajinatif dan mampu menipu kita sejak awal.
Pesona mise en scene Mirror Mirror memang menjadi kekuatan utama filmnya namun kisah adaptasinya yang lemah menjadikan pencapaian artistiknya seolah terpisah dari ceritanya. Jika Tarsem membuat film ini untuk anak-anak rasanya pencapaian artistik dan kostumnyanya bakal mengintimidasi mereka. Penampilan Roberts, si cantik Lily Collins, dan Nathan Lane juga tak mampu mengangkat filmnya. Kejutan kecil dan manis di penutup filmnya membuat saya berpikir jika ini film musikal rasanya film ini bisa jauh lebih baik. Tarsem sepertinya masih harus mencari cerita yang lebih pas dengan pendekatan estetiknya yang sangat memukau. (Score: C+)
Artikel SebelumnyaThe Raid
Artikel BerikutnyaBattleship
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.