Sukses komersial Moana yang besar, tak mengherankan jika sekuelnya diproduksi sekali pun telah berselang 8 tahun. Uniknya, Moana 2 diarahkan oleh tiga sutradara sekaligus, David Derrick Jr., Jason Hand, dan Dana Ledoux Miller. Film sekuelnya ini masih dibintangi Auliʻi Cravalho, Dwayne Johnson, Temuera Morrison, Nicole Scherzinger, Rachel House, serta Alan Tudyk. Akankah sekuelnya ini mampu bersaing secara komersial dan kualitas dengan seri pertamanya? Rasanya ini bukan satu hal yang mustahil.

Moana (Cravalho) hidup tenang bersama sukunya di pulau kelahirannya, dan kini ia bebas berpetualang ke mana pun. Suatu ketika, ia mendapat visi dari leluhurnya untuk mengikuti arah bintang jatuh, mencari pulau leluhur mereka yang telah hilang, Motufetu. Dengan berat hari, orang tuanya pun melepas kepergian putrinya ditemani tiga orang rekan Moana, Moni, Loto, Kele, serta dua peliharaan kesayangannya. Lantas, di mana Maui (Johnson)? Rupanya ia terperangkap di sebuah tempat yang dkuasai oleh seorang dewi licik bernama Matangi yang kelak dilewati Moana.

So, apa yang ditawarkan sekuelnya kini? Pertama jelas sisi visual yang rasanya pencapaian animasinya jauh lebih halus dari sebelumnya. Gambarnya sangat nyaman untuk dilihat, ditopang oleh tone dan warna cerah sepanjang film. Kedua adalah sisi lokalitasnya yang didominasi oleh unsur musik dan lagu melalui segmen musikalnya. Elemen lagu dan musik etnik memang menjadi kekuatan besar seri pertamanya yang menggema sejak opening logo. Musiknya mampu membuat bulu kuduk merinding dalam beberapa momennya. Lantas kisahnya sendiri bagaimana?

Secara ringkas, plotnya nyaris sama persis polanya dengan seri pertama. Moana harus berpetualang untuk menyelamatkan tanah kelahirannya dari kutukan, dan kini pun sama, hanya motifnya yang berbeda. Moana pergi (kali ini tidak sendirian) untuk mencari “the lost island”, yang kelak bakal menyatukan semua suku di wilayah Polinesia. Babak final kembali menyajikan segmen aksi besar dan kali ini Moana, Maui, dan rekan-rekanya harus melawan Dewa Nalo. Problem cerita juga mirip dengan seri pertama di mana tensi aksinya menurun di separuh durasi pertengahan (second act), namun tidak untuk babak awal dan akhir.

Baca Juga  The Ant-Man

Melalui formula yang senada dengan seri pertamanya, Moana 2 menembak tepat target penonton dan fansnya. Elemen dan sisi lokal kembali menjadi kekuatan terbesar sekuelnya ini dengan mampu menyajikan nuansa “mistikal” yang berkelas, khususnya melalui musik dan lagu. Jika head to head dengan Moana, film sekuelnya jelas unggul mutlak dari sisi visual, namun tidak untuk eksplorasi plotnya. Rasanya tak bakal sulit untuk mendekati sukses komersial film pertamanya. Moana 2 adalah hiburan sempurna bagi keluarga pada liburan akhir minggu mendampingi Wicked yang telah lebih dulu rilis. Bawa seluruh anggota keluarga kalian untuk menonton film ini. Selamat menonton!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaWe Live in Time
Artikel BerikutnyaCinta dalam Ikhlas
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.