Mortal Engines merupakan film aksi fiksi ilmiah berlatar era post-appocalyptic, adaptasi dari novel berjudul sama yang disutradarai oleh Christian Rivers. Rivers adalah juga sohib sineas kawakan, Peter Jackson, yang biasanya menangani efek visual dalam film-film karya Jackson. Istimewanya, Mortal Engines adalah karya debut dari Rivers sehingga tak heran film ini sarat dengan efek visual. Jackson sendiri bertindak sebagai produsernya. Film ini dibintangi oleh aktor senior Hugo Weaving serta beberapa aktor-aktris muda pendatang baru, seperti Hera Hilmar, Robert Sheehan, serta Jihae. Dengan bermodal bujet sebesar US$ 100 juta dan Peter Jackson sebagai produser, apakah film ini mampu bersaing dengan karya-karya film fantasi besarnya, sebut saja Trilogi The Lord of the Rings?
Alkisah ratusan tahun ke depan, planet bumi mengalami kehancuran luar biasa akibat senjata pemusnah masal yang memiliki daya hancur luar biasa. Sedikit dari penghuni bumi yang bertahan hidup kini harus berjuang memperebutkan sumber daya yang semakin menipis. Sebuah kota dibangun di atas sebuah mesin raksasa yang bisa bergerak ke mana pun, mencari mangsanya, yakni kota-kota yang lebih kecil untuk diambil semua cadangan sumber dayanya.
Sejak pembuka film, kisahnya dibuka dengan satu segmen aksi yang secara visual amat sangat mencengangkan. Sebuah kota ternyata adalah layaknya sebuah “tank raksasa” yang bisa bergerak sangat cepat. Aksi kejar-mengejar ala Mad Max antara satu kota kecil dan kota “London” disajikan sangat luar biasa. Sebuah sajian visual yang rasanya belum pernah ditemui dalam medium film. Lantas setelahnya apa? Semua serba melelahkan karena sajian aksi dan efek visual yang begitu dominan, cepat, dan tanpa jeda. Ini membuat mata dan pikiran menjadi teramat capek. Tak ada drama yang cukup untuk membuat kita bisa masuk ke dalam kisahnya. Tak ada sisipan humor yang mampu membuat kita tertawa. Nyaris tak ada simpati untuk setiap tokoh utama dalam kisahnya. Semua serba mekanik, tak berjiwa.
Amat disayangkan, dengan potensi latar cerita dan genrenya, rasanya film ini bisa berbicara lebih dalam serta relevan dengan masalah planet bumi masa kini. Bahkan berbicara isu lingkungan pun tidak. Saya tidak mempertanyakan isi novelnya, namun konteks kisah filmnya saja. Di dunia yang serba ekstrem, minim sumber daya alam, populasi manusia yang sedikit, serta teknologi canggih yang mereka miliki, mengapa sang antagonis tidak berpikir untuk saling bekerja sama, namun justru saling menguasai dan menghancurkan? Untuk apa coba dan apa untungnya? Entahlah, mungkin saya melewatkan sesuatu atau memang latar kisahnya tak dijelaskan secara utuh.
Mekanik dan tak berjiwa, Mortal Engines mengabaikan potensi genre, tema, dan konsep cerita yang tergilas oleh gemerlap efek visualnya yang begitu mengesankan. Bicara soal efek visual memang tak perlu komentar lagi karena semua disajikan sangat menawan. Bujet produksi sebesar ini, lebih dari separuhnya rasanya habis untuk efek visual dan tata artistik. Imajinasi yang begitu liar dalam kisah novelnya sepertinya lebih cocok jika disajikan melalui medium animasi atau anime. Satu hal menarik yang paling mengejutkan dalam film ini hanyalah pada satu momen saja, dan ini yang bisa membuat seisi bioskop tertawa lepas, yakni Kevin dan Bob.
WATCH TRAILER