Serial televisi favorit masyarakat pada masanya, Jadi Pocong, karya H. Mandra mendapat kesempatan untuk dibuatkan filmnya dengan judul, Mumun. Rizal Mantovani, salah seorang sutradara horor kita, adalah yang bertanggung jawab mengarahkan film ini bersama Dirmawan Hatta sebagai penulis. Masih dengan genre yang sama yakni komedi horor (dan drama roman), para pemain dalam film produksi Dee Company ini antara lain Acha Septriasa, Dimas Aditya, Volland Volt, Fajar Nugra, Ence Bagus, Bedu, dan penampilan spesial dari aktor komedi senior tanah air, Mandra. Melihat faktor ketenaran dari IP-nya, apakah Mumun memberikan kualitas filmis yang sepadan?
Mumun dan Mimin (Acha) merupakan anak kembar sebuah keluarga kecil dalam kampung Betawi. Mumun amat terkenal di kalangan warga kampung layaknya kembang desa. Meski sedang dalam hubungan asmara dengan Juned (Dimas), namun ia masih saja digandrungi oleh banyak lelaki. Hingga salah satunya juga menarik perhatian seorang penagih hutang, Jefri (Volland). Pada saat yang sama, saudari kembarnya, Mimin, tengah berhutang sejumlah besar uang. Kejar-kejar di antara mereka pun tak terelakkan.
Mumun, di luar soal hiburan dan nostalgia, punya naskah yang benar-benar bermasalah dalam mengelola cerita dan menggarap aspek-aspeknya. Kita bisa mulai merincikannya, tetapi takkan ada cukup ruang untuk menguraikan semuanya. Ingatan kita saat menonton film ini pun seakan kembali pada Si Manis Jembatan Ancol dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 dan 2. Judul-judul yang pada akhirnya hadir hanya sebagai hiburan dan nostalgia semata berdasarkan ketenaran sumbernya. Beberapa yang paling parah dalam naskah Mumun ialah soal jalan cerita, logika keberadaan tokoh dalam suatu lokasi, dan pemaksaan situasi.
Sejak sebelum trailer Mumun dirilis ke publik, bahkan kita sudah tahu masalah apa yang tengah dialami Mumun sampai-sampai sosok pocongnya bergentayangan. Begitu pula solusi konkret untuk mengatasi masalah tersebut. Jadi pada dasarnya, penanganan terhadap kemunculan pocong Mumun sudah jelas sejak awal. Mau bagaimana lagi. Ini tidak dapat dihindari. Namun, setidaknya masih ada peluang untuk menciptakan jalan cerita yang sukar tertebak untuk menuju solusi tersebut. Seharusnya. Nyatanya, baik Rizal maupun sang penulis, Hatta, mengabaikan segala trik antisipasi dugaan agar dapat mengecoh penonton. Walhasil, hampir sejak awal film, alur Mumun akan mengarah ke mana serta peristiwa apa yang akan terjadi bisa ditebak dengan mudah.
Belum cukup bicara ihwal alur, logika kemunculan lokasi dengan keberadaan tokoh-tokoh sentral di dalamnya serba tiba-tiba. Banyak pula yang sebenarnya tak memiliki dasar alasan yang kuat, mengapa tokoh tersebut harus berada di sana pada saat itu. Seolah ada sejumlah pemaksaan alasan dan motivasi, demi bisa mencapai beberapa peristiwa atau momen, yang ingin dimunculkan dalam waktu dan tempat yang tepat. Memaksakan jalan cerita mengarah ke situasi yang dikehendaki, hanya agar bisa cocok dengan momentum atau peristiwa yang ingin diciptakan. Hal yang masih dilakukan dalam beberapa naskah film kita. Faktanya, ada dampak negatif dari tindakan penceritaan semacam ini, yaitu deretan keadaan serba tiba-tiba yang sukar dinalar.
Catatan sebanyak ini bahkan belum membicarakan tentang sinematiknya. Terutama pengerjaan efek dan teknologi olah grafisnya yang kurang halus. Kita tahu satu fakta dalam Mumun, bahwa pasti terdapat pengaturan gambar dengan teknis CGI di sana, karena Acha memainkan dua peran sebagai anak kembar. Ini bahkan sudah muncul dalam trailer-nya. Jadi pertanyaannya kemudian menjadi, apakah halus atau tidak. Namun ternyata tak terlalu halus. Bahkan ada satu adegan yang mempertemukan fisik Acha sebagai Mumun dan saudari kembarnya dalam satu layar, masih tampak kasar. Kalau saja sineasnya lebih bijak untuk meniadakan saja satu adegan itu. Setidaknya penampilan dari seorang Acha Septriasa sebagai sepasang anak kembar beda karakter bisa sedikit-banyak mengobati segala kekurangan Mumun.
Berbicara film horor pun tak lepas dari kebutuhan akan trik-trik horor. Namun, barangkali karena Mumun mengadaptasi serial horor komedi, trik-trik horor yang muncul pun tak banyak yang serius. Sebagian besar sudah sering kita saksikan dalam film-film horor lain. Walau ada 1-2 kesempatan kecil yang cukup baik dalam penempatan jumpscare. Namun kembali lagi, karena pada akhirnya Mumun menjadi film horor komedi (dengan bumbu drama roman), suguhan lawakannya cenderung lebih banyak ketimbang momen seramnya. Hal lainnya tentu saja adalah kesempatan untuk bernostalgia mendengar dialog khas dari sosok pocong Mumun dan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan oleh Mandra.
Mumun, amat disayangkan memang, tak dapat lebih dari sekadar hiburan dan nostalgia semata. Beruntungnya film ini masih punya ketenaran nama dan olah peran Acha. Seakan sukar sekali pula, untuk menghasilkan film horor komedi yang bisa dengan baik me-reboot atau mengadaptasi judul-judul lama yang sempat populer pada masanya. Beberapa tahun sebelum Mumun, Si Manis Jembatan Ancol pun demikian. Capaiannya pada akhirnya mentok sebatas pada hiburan dan nostalgia, mengingat kembali tayangan tersebut dulu. Rizal sendiri juga belum punya rekam jejak film horor yang cukup baik selama ini. Kecuali Kuntilanak (2018) yang mendingan. Kuntilanak 3 yang rilis pula pada tahun ini punya celah di sana-sini. Apalagi Asih 2 dua tahun lalu. Hatta sebagai penulis Mumun pun tak lebih baik. Malahan, cerita mengenai Jefri yang nantinya bergentayangan lebih membuat penasaran sekarang.